Unfamiliar Lover: Prolog
Bagaimana kamu bisa merindukan seseorang yang tidak kamu kenali wajahnya? Dia hanya ada dalam mimpi.
Semua orang seolah-olah bersepakat tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Hira 1 tahun yang lalu. Ingatan tentang penyebab kecelakaan yang dialami Hira, seolah tersapu bersih dari kepalanya.
Lalu Ben muncul dalam hidupnya. Membuat semua orang terdekat Hira kebakaran jenggot. Mereka tidak ingin Hira memiliki hubungan dekat dengan cowo mana pun sebelum ingatannya pulih, tapi mereka sendiri tidak mau memberikan clue, rahasia dari ingatannya yang hilang.
Hira gerah, ia tidak bisa menunggu ingatannya kembali dengan sendirinya. Ia akan mencari tahu.
Sementara itu Hira dan Ben semakin dekat. Sisi gelap hidup Ben membuat Hira bersimpati dan ingin bisa berguna bagi cowo itu. Ada sesuatu yang mengikat dirinya pada Ben, tapi ia tidak yakin apa...
===========
Kabut..
Kabur..
Semua tampak berkabut. Ada seorang pria dihadapannya, tapi penglihatannya kabur, seperti berkabut.
Hira memejamkan matanya rapat-rapat berharap dengan begitu ia bisa melihat lebih jelas saat ia membukanya. Perlahan ia membuka matanya dan kabut itu hilang, begitu juga pria itu.
Hanya ada warna putih di depan matanya. Hira memejamkan matanya lagi, berusaha membuat otot matanya bisa lebih fokus melihat.
Warna putih itu dihiasi percikan-percikan warna biru muda. Langit-langit ruangan??
Tapi langit-langit kamarnya bukan berwarna putih dengan percikan biru..
Dia ada dimana??
Hira menoleh ke arah kiri dan tepat saat itu kepalanya terasa seperti dipukul palu dengan keras. Ia memejamkan matanya lagi menahan rasa sakit yang berdenyut di balik tempurung kepalanya. Saat sakitnya mereda, ia mencoba menoleh lagi dan membuka matanya.
Sebuah jendela besar dengan pemandangan malam kota. Kelap kelip lampu gedung-gedung tinggi tampak indah dan cantik.
Hira menyapu pandangannya dan tertegun melihat Riana, ibunya, tertidur pulas di sofa dengan berselimut kain bermotif panda. Selimut kesayangannya.
" Ma...", ia memanggil dengan suara parau. Ia tertegun dengan suaranya yang sangat serak dan hampir tidak terdengar sama sekali.
Ia meraba tenggorokannya yang terasa kering. Beberapa saat ia menyadari ada yang aneh dengan tubuhnya. Ada sesuatu di hidungnya. Seperti sebuah selang* yang dimasukan dari hidung dan melewati kerongkongannya. Ujung selangnya direkatkan di pipi kirinya. Apa ini?
Hira semakin terkejut saat melihat tangan kirinya yang dibalut perban dan diantara perban terselip selang kecil yang mengalirkan cairan bening yang terdapat di kantung bening berlabel merah, tergantung di sebuah tiang.
Eh, infus? Pikir Hira tersadar. Ia membelalakkan matanya dan baru ingat kalau ia sangat takut dengan jarum suntik. Apalagi kalau diinfus.
" Ma...!" Hira mencoba memanggil dengan suara seraknya dan berusaha duduk di tempat tidurnya, tapi tiba-tiba kepalanya terasa seperti dipukul dengan keras lagi. Kali ini lebih sakit. Ia pusing sekali. Ruangan itu seperti bergoyang dan ia menjadi mual.
" Ma...!" panggil Hira, semakin panik. Ia memegangi kepalanya sambil tetap berusaha bangkit dari tempat tidur. Ia berusaha menapak di atas kakinya tapi tenaganya seperti menguap. Ia kehilangan keseimbangan dan berlutut di lantai.
Kepalanya yang sakit dan pusing masih terus berdentam-dentam seolah ada sesuatu yang memaksa ingin keluar. Rasa pusing itu perlahan menjalar ke perutnya dan membuat perutnya bergejolak. Tanpa bisa menahan, Hira memuntahkan isi perutnya yang hanya berwarna kekuningan.
" Hira!! Ya, Tuhan!!" Riana yang sudah terbangun langsung menggapai Hira dan membantu putri bungsunya agar duduk di sofa. Ditariknya tiang tempat menggantungkan infus agar pipa infus tidak tercabut hingga melukai tangan Hira.
Dengan tubuh yang gemetar karena rasa pusing di kepala dan mual di perutnya, Hira menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa. Ia menutup matanya beberapa saat berusaha meredam rasa sakit di seluruh tempurung kepalanya. Ia menarik napas pelan dan membuangnya sedikit-sedikit. Cara yang cukup berhasil untuk menahan pusing.
Ia membuka matanya dan menoleh pada ibunya yang tersenyum tapi juga cemas. Sepertinya Hira sudah banyak membuat ibunya kuatir. Mata ibunya sampai berkaca-kaca melihatnya terbangun.
" Hira, akhirnya kamu bangun, Nak," bisik Riana sambil mengusap rambut Hira dengan sayang. Seperti tidak tahan dengan rasa senangnya, Riana memeluk Hira erat-erat hingga gadis itu megap-megap.
" Memangnya Hira tidur berapa lama, Ma?" tanya Hira, setelah Riana melepaskan pelukannya.
" Kamu sudah ga sadarkan diri sebulan ini. Mama Papa kira kamu koma tapi dokter bilang kamu cuma tertidur. Tidur yang panjang," jelas Riana, dengan suara berbisik dan mata yang tidak lepas memandang putrinya, meyakinkan dirinya tidak sedang bermimpi. Ia hampir saja kehilangan harapan kalau Hira tidak akan bangun, tapi ternyata Tuhan menjawab doa-doanya.
Ia menatap Hira yang ternganga, tidak percaya kalau dia bisa tertidur selama satu bulan. Riana memeluknya lagi dengan lembut dan mengusap rambut Hira dengan sayang. Hatinya begitu lega.
" Memangnya Hira kenapa, Ma?" tanya Hira membuat Riana melepaskan pelukannya.
Hira menatap mata ibunya, menunggu penjelasan. Ia tidak bisa mengingat bagaimana ia bisa berada di rumah sakit, bahkan pingsan sampai sebulan.
Riana tidak menjelaskan dan malah tampak sangat terkejut.
" Kamu tidak ingat apa-apa?" tanya Riana, bingung.
Hira berusaha mengingat-ingat, tapi semakin ia berusaha mengingat, kepalanysa semakin terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk paku.Ia menutup matanya rapat-rapat dan memegang kepalanya dengan kuat karena rasa sakit yang tak tertahankan.
" Hiraa..?!"
" Hira.. Ga bisa ingat.." bisiknya, sambil menahan sakit.
" Ya, udah. Ga usah diingat. Mama panggil dokter dulu ya."
Hira mengganguk pelan dan membiarkan ibunya meninggalkannya sementara ia terus memegangi kepalanya yang nyeri. Saat Riana menghilang dibalik pintu, Hira kembali menenangkan diri, menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Ia melakukannya berkali-kali hingga rasa sakit di kepalanya reda.
Ia menutup matanya perlahan dan kembali mencoba mengingat apa yang terjadi. Mengapa ia bisa ada di rumah sakit ini dan tidak sadarkan diri hingga sebulan lamanya. Ia mencari diantara memori di kepalanya dan perlahan bayangan putih, merah, biru, jingga terbersit di kepalanya. Hira berusaha semakin keras untuk mengingat, tapi yang muncul wajah orang tuanya, wajah sahabat-sahabatnya. Kejadian yang terakhir ia ingat hanya ia tidur di kamarnya setelah menulis beberapa laporan untuk tugas kuliahnya. Hanya itu.
Lalu warna biru, putih, jingga dan biru itu apa ya? Hira mengira-ngira, tetapi tidak dapat menemukan jawabannya. Yang ia yakini hanya warna itu yang bisa menjawab pertanyaanya mengapa ia bisa pingsan sampai 1 bulan dan tinggal di rumah sakit dengan berbagai selang menempel di badannya.
Mungkin nanti orang-orang terdekatnya bisa menjawabnya....
***
INFO
* Selang nasogastrik (nasogastric tube/NGT), yang dikenal juga dengan nama selang makanan atau sonde, adalah selang plastik lunak yang dipasang melalui hidung (nasal) menuju lambung (gaster). Agar tidak berpindah posisi, selang akan direkatkan ke kulit di dekat hidung dengan pita perekat.
Tujuan pemasangan selang nasogastrik adalah untuk membantu pemberian makanan dan obat-obatan kepada pasien yang tidak bisa mengonsumsi makanan atau obat dari mulut, misalnya bayi prematur atau pasien koma. Selain itu, selang nasogastrik juga bisa digunakan untuk mengeluarkan gas atau cairan dari dalam lambung
Referensi: