Unfamiliar Lover 2: Ingatan

  Hira memandang wanita tengah baya di depannya dengan bosan. Rambut hitamnya yang ditata dengan rapih membuatnya semakin terlihat sangat serius. Kacamata dengan bingkai emas yang kuno itu juga membuatnya semakin terlihat tua.

Bu Fara adalah psikolog yang menangani kondisi Hira yag lupa ingatan ini. Lupa ingatan yang menurut Hira yang tidak perlu dipermasalahkan. Tapi menjadi masalah untuk ibunya, Riana.

Kemarin Hira ketahuan sudah bolos menghadiri beberapa sesi konseling dan ia kena omel habis-habisan. Hari ini ia terpaksa datang dan mau tidak mau harus menghadapi pertanyaan dan cara bicara Bu Fara yang membuatknya mengantuk.

" Hira, saya punya sesuatu untuk kamu lihat,"

Bu Fara membuka map yang sedari tadi di pegangnya dan mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalamnya. Ia memberikan satu lembar pada Hira.Foto ia bersama beberapa teman BEMnya yang sudah lama tidak bertemu. Kata Jenny, beberapa dari mereka sudah kembali ke daerah masing-masing dan bekerja di sana.

Di foto itu ada sekitar delapan orang. Hira dan Jenny yang masih kuliah, Galuh dan Patricia yang sudah bekerja di daerah Sudirman. Lalu Uli, Florencia, dan Rena yang sudah kembali ke daerah. Nah, di tengah-tengah ini yang memasang wajah paling jelek, Reeyymmundoo..

Iya, namanya Reymundo dan Hira sangat suka meledeknya dengan berlagak seperti pemain telenovela. Entah kenapa orang tuanya memberi nama Reymundo. Mungkin ibunya terlalu banyak menonton Marimar, Maria Mercedes, atau Cinta Paulina.

Mereka tidak pernah akur. Hira meledeknya dengan drama telenovela, Rey meledek Hira dengan menyebutnya Hera.

Entah sekarang cowo rese itu ada dimana. Hira tidak terlalu mau tahu juga. Mereka memang sering saling meledek, tapi tidak benar-benar bermusuhan tapi juga tidak benar-benar dekat.

Mereka berdelapan ini dulu sangat sering kumpul di rumah Jenny atau Pat. Hanya sekedar untuk rapat kecil-kecilan, haha hihi sambil main beberapa permainan kelompok dan sudah pasti ngemil.

" Ini foto kami di tahun... 2015... kalau tidak salah. Memangnya kenapa?" tanya Hira sambil menyerahkan kembali foto itu pada Bu Fara. Bu Fara kembali memberikan satu lembar foto.

" Bagaimana dengan ini? Apakah ada yang mengingatkanmu pada sesuatu?" tanya Bu Fara penuh selidik.

Hira melihat foto yang kedua dan di situ ada dirinya, Pat, Rey, Galuh, Uli, dan Rena. Ia ingat sekali foto itu diambil saat mereka sedang wisata ke pantai Anyer. Jenny dan Flo sedang sibuk dengan es kelapa jadi mereka membuat foto selfie berenam dengan susah payah.

Di foto itu dirinya sedang tidak fokus karena Rey membuat ekspresi jelek, melotot ke arahnya dengan lidah terjulur. Hira sudah hampir menempelkan pasir ke mulut Rey saat itu, tapi dia kalah cepat. Rey langsung melompat, menghindar.

Hira tersenyum sesaat mengingat kenangan manis itu. Saat-saat ia dan bersama teman-teman BEMnya masih sering berkumpul. Rasanya tidak ada hari tanpa kumpul dengan mereka. Walaupun mereka beda angkatan. Paling tua Galuh, diikuti Pat, Rey, Uli, lalu Rena, Jenny, dan Hira yang seumuran.

" Kenapa tersenyum?" tanya Bu Fara, penasaran tapi dengan wajah yang ikut tersenyum.

Hira memberikan foto itu kembali padanya dan hanya menggeleng pelan. Ia tiba-tiba merindukan teman-temannya.

" Bagaimana dengan yang ini?" Bu Fara menyodorkan foto ketiga.

Hira menerimanya dengan enggan. Kali ini foto berempat. Ada Rey, Hira, Galuh, dan Jenny. Di belakang mereka berdiri pohon Natal yang menjulang tinggi dan berhiaskan lampu kelap kelip.

Hira ingat foto ini juga. Waktu itu yang tinggal di Jakarta hanya mereka berempat sementara yang lain pulang kampung untuk merayakan Natal dan liburan bersama keluarga masing-masing di daerah. Akhirnya mereka berempat pergi ke mall yang belum lama dibuka dan langsung mengadakan perayaan yang meriah. Yang paling Hira ingat adalah kembang apinya.

Kembang apinya indah dan romantis...

Ah, Hira tiba-tiba ingat. Hari itu ia patah hati. Ia melihat Jenny bersama Galuh tampak begitu sangat dekat. Bahkan Rey mengungkapkan isi hati Hira sebelum Hira mengucapkannya sendiri.

Sekarang, Galuh dan Jenny memang pacaran. Bahkan sudah 3 tahun lebih. Mereka juga sedang mempersiapkan pernikahan. Begitu Jenny lulus, mereka akan menikah.

Galuh dan Jenny memang cocok. Mereka sama-sama dewasa. Tidak seperti dirinya..

" Hira? Ada yang kamu pikirkan?" tanya Bu Fara sambil menerima foto dari tangan Hira.

Hira menggeleng pelan, " Hanya terkenang masa lalu."

" Kenangan apa?"

Ah, ini dia yang tidak disukai Hira. Dia memang kuliah di jurusan psikologi, tapi ia paling tidak suka isi hatinya dikorek-korek dan diselidiki.

" Hanya masa lalu..." jawab Hira, asal.

Bu Fara menarik napasnya dalam. Terlihat jelas ketidak puasan di wajahnya. Tidak puas dan lelah.

" Hira..."

Hira meliriknya dan tidak tertarik memandangnya muka dengan muka.

" Saya di sini ada untuk membantu kamu, tapi kalau kamu sendiri tidak mau dibantu dan tidak mau bekerja sama.. Sepertinya akan sia-sia."

Bungkam, Hira benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Dia memang tidak merasa perlu dibantu.

" Hira, apakah kamu merasa perlu dibantu??"

Hira membuka mulutnya untuk mengatakan keluh kesahnya tentang sesi-sesi yang membosankan, tapi ia kembali menutup mulutnya dan menelan kata-katanya. Lebih baik ia berkata seperlunya saja.

" Saya memang tidak merasa ada yang perlu dibantu Bu Fara. Saya merasa tidak perlu mengingat hal-hal yang terjadi setahun yang lalu."

Hening. Bu Fara tidak menjawab kata-kata Hira dan dia hanya memandang Hira penuh pertimbangan.

" Baiklah. Sesi hari ini sampai di sini saja dulu. Saya akan membicarakan masalah ini dengan Ibu Riana. Semoga beliau bisa mengerti."

Hey! Maksudnya dia akan berusaha membuat ibunya berhenti memaksanya mengikuti sesi-sesi yang membosankan?? Bagus sekali! Jadi, Hira tidak perlu berdebat dengan ibunya sendiri.

" Baiklah!" penuh semangat Hira berdiri dari duduknya dan menjabat tangan Bu Fara dengan kuat.

" Saya akan menunggu kabar baiknya!" seru Hira dari balik pintu ruang konseling. Ia menutup pintunya pelan dan melemparkan tinjunya ke udara.

Akhirnya ia bisa lepas dari masa-masa yang menyiksa ini. Setahun mengikuti sesi konseling tanpa hasil. Buat apa? Memang lebih baik mereka menyudahinya.

Semoga saja ibunya mau mengerti dan mengijinkan. Kalau, tidak.. Arghh!!

***

Jarak dari kantor Bu Fara ke rumah Hira hanya sekali naik Trans Jakarta, tapi entah kenapa ia selalu merasakan perasaan tidak enak setiap kali ia pulang. Seperti ada yang mengaduk-aduk isi perutnya.

Hira berusaha mengabaikannya tapi beberapa kali gagal yang berakhir menjadi rasa sakit di kepalanya. Ia tidak menceritakannya pada siapa pun karena orang-orang di sekelilingnya jadi sering kuatir berlebihan sejak kecelakaan 1 tahun lalu.

Hira tidak mau dibrondong dengan berbagai pertanyaan yang kadang ia pun tak tahu jawabannya.

Bus TJ hari ini tidak terlalu ramai mungkin karena sesi terapi hari ini selesai lebih awal jadi tidak bertabrakan dengan jam pulang kantor. Hira melihat sekeliling bus yang hanya berisi beberapa orang. Sinar matahari sore yang masuk dari sela-sela jendela memancarkan warna jingga menyala. Membuat mata Hira silau. Lalu perlahan perasaan tidak nyaman itu muncul lagi.

Bergegas Hira menutup matanya, memasang earphonenya dan tenggelam dalam dentaman lagu dari aplikasi musiknya. Dalam gelapnya saat ia menutup mata, warna jingga itu masih menari-nari di balik kelopak matanya. Rasa tidak nyaman itu tak menjauh juga dan perlahan rasa sakit di kepala Hira ikut bermain. Ia masih bisa menahan sakitnya. Seperti ditusuk paku. Ia berusaha bertahan dan seiring menghilangnya bayangan jingga itu, rasa sakit di kepalanya menghilang.

Hira menarik napasnya dalam dan membuangnya perlahan. Dengan cara itu ia bisa kembali lebih tenang....

Yah, ternyata hasil dari terapi itu masih ada gunanya. Termasuk teknik pernapasan ini.

Sakit kepala itu sudah mulai hilang, tapi Hira tidak mau membuka matanya. Ia akan membukanya saat ia sudah sampai di halte tujuannya.

Hira hanya bisa berharap sakit kepala itu bukan tanda kanker otak atau penyakit lainnya. Mungkin hanya karena trauma akibat dari kecelakaan dulu.

Iya, semoga saja.

***

Hujan jatuh tepat saat Hira melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah. Cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini membuatnya agak senewen karena ia tipe yang malas membawa payung. Tasnya sudah penuh dengan berbagai macam diktat, buku, alat tulis dan laptop. Ia tidak mau menambahkan beban beberapa gram ke dalam tasnya.

Ya, sebenarnya itu kebiasaan orang malas. Jenny dan ibunya sering mengomel kalau tahu ia tidak membawa payung padahal tahu sudah menjelang musim hujan. Peribahasa dan berbagai nasehat bisa panjang lebar mereka pidatokan dengan harapan dirinya bertobat. Tapi, ya... Maaf.. Hira memang sulit berubah.

" Shaloomm!!" Hira mengucapkan salam saat masuk ke dalam rumah. Dari pintu ruang tamu ke arah taman belakang ia melihat ibunya, Riana, sedang sibuk mengangkat jemuran. Hujan yang tadinya hanya gerimis mulai semakin deras.

Bergegas Hira meletakkan tasnya di meja makan. Mengurungkan niatnya mencomot ayam goreng dan bergegas membantu ibunya.

" Makasih, Hira." ucap Riana saat mereka meletakkan semua jemuran yang untungnya sudah kering ke keranjang khusus jemuran.

" Sama-sama, Ma. Langit lagi sering galau, nih." celetuk Hira sambil mengangkat tasnya dari meja makan dan memindahkannya ke kursi. Ia mencuci tangannya di dapur dan mengambil piring sambil terus sesekali melirik ibunya yang mulai sibuk melipat jemuran tadi.

Ia penasaran apakah Bu Fara sudah menghubungi ibunya untuk membicarakan jadwal terapinya. Dari gelagatnya sih sepertinya belum. Kalau tidak, pasti Riana sudah mengoceh panjang kali lebar.

" Hira, tadi Bu Fara nelepon."

Hira yang baru mau duduk di kursi langsung terpaku memandang Riana. Ia seluruh sarafnya langsung menjadi awas, berjaga-jaga menerima semprotan dari ibu tersayangnya.

" Te... Rus?" tanya Hira menunggu kelanjutan cerita Riana. Ibunya itu masih asik melipat pakaian tanpa menoleh pada Hira sedikitpun.

Perlahan Hira duduk di kursi, meletakkan piring di atas meja dan menyendokkan 2 centong nasi ke atas piring. Kalau seandainya Riana mengomel, minimal ia tidak dilarang makan. Ia sudah sangat lapar.

" Bu Fara bilang terapi kamu tidak ada kemajuan karena kamu sendiri ga merasa butuh. Jadi, dia akan diskusikan lagi dengan Dokter Eril. Nanti akan diinfokan jadwal terapi kamu akan diubah seperti apa." jelas Riana, masih tidak menoleh pada Hira sama sekali.

Hira mengangguk pelan antara senang dan waswas. Jangan-jangan hasilnya nanti terapinya akan diperketat. Ia bisa mati kebosanan.

" Hira, memangnya kamu ga mau sembuh??"

Hira menoleh pada Riana yang akhirnya menatapnya dengan tatapan kuatir. Ada perasaan tidak enak di kerongkongan Hira melihat ekspresi ibunya.

" Hira bukannya ga mau sembuh, Ma. Hira cuma ngerasa ya buat apa berusaha mengingat saat-saat kecelakaan itu sedangkan Hira baik-baik aja dan ga ngerasa ada yang perlu diingat... Itu aja sihh.."

Hira menggigit sendoknya dan memandang Riana penuh harap agar ibunya mengerti dengan apa yang ia pertimbangkan. Tapi penjelasannya sepertinya tidak membantu. Wajah Riana malah semakin kuatir dan menjadi pucat.

Memangnya cara berpikirku salah ya? tanya Hira dalam hati. Ia merasa reaksi ibunya berlebihan.

" Ya, udah kamu makan dulu aja." Riana membuang pandangannya dari Hira dan membawa tumpukan pakaian yang sudah dilipatnya ke ruangan belakang tempat ia biasa menyeterika baju.

Diam-diam pandangan Hira mengikuti langkah Riana. Wajah ibunya itu tampak berpikir sangat keras. Sejauh apa kekuatiran ibunya, Hira tidak bisa membayangkan. Ia merasa baik-baik saja dan terapi itu sungguh-sungguh tidak membantu sama sekali.

 

🎡🎢🎡🎢🎡🎢

 

Suara hp Hira berdering. Cepat-cepat ia merogoh tasnya dan melihat siapa si pengirim chat yang menolongnya dari berpikir terlalu berat.

BENEDICT

Hira membuka chat kejutan itu dan termangu membacanya.

Hira, inget aku ga? Aku Ben yang ketemu kamu di perpustakaan tadi siang.

Siapa yang bisa lupa sama cowo charming macam Ben? Hira menyendokkan satu suap nasi ke mulutnya sebelum ia segera membalas pesan itu.

Tentu aja gua inget. Apa kabar? Bukunya berguna ga?

Berguna sekali. Makasih ya sudah mau meminjamkan.

Ga masalah. Itu kan buku perpus. Lagian kan ga gua pake hehhehe... 😁😁😁

Besok kamu ada kuliah?

Ada. Kenapa?

Jam berapa?

Jam 10 sama jam 1.

Makan siang bareng yuk..

Errrr... Manufer Ben bagi Hira termasuk sangat cepat. Walau kelihatan polos, ternyata dia termasuk cepat dalam melakukan pendekatan.

Tunggu duluuu..

Memangnya dia sedang pendekatan?? Jangan-jangan hanya sedang cari teman.

Hira menarik napas dan membuang napasnya berusaha mengendalikan perasaannya yang antara bingung dan berdebar antusias karena tiba-tiba ada cowo mau mendekatinya. Dia tidak mau berharap terlalu banyak.

Jadi.. Apakah sebaiknya ia menerima undangannya ini?

Emang mau makan di mana?

Di mana saja boleh. Yang biasa kamu makan siang saja.

Ya sudah, di kantin aja ya? Biar ga mepet waktu gua mau masuk kelas.

Baiklah ✌️

Hira tidak membalas chat Ben lagi. Yang ada di otaknya hanyalah menceritakan semuanya pada Jenny.

 

Dulu Jenny sering mendorongku membuka hati pada pria kalau punya cita-cita menikah. Sekarang, ada seseorang, pangeran berkuda putih... Mungkin.. Yang tahu-tahu berinisiatif menjalin pertemanan dengannya. Bukankah ini berita BESAAARRR??!!

***

Trakteer cendol cerita Hira dan Ben jika kamu penasaran kelanjutannya.