Unfamiliar Lover 1: Ben




Hira membuka matanya perlahan dan melihat langit-langit kamarnya yang sudah mulai dihiasi beberapa sarang laba-laba. Ia mengecap-ngecap bibirnya dan merabanya perlahan.

" Mimpi itu lagi.." bisiknya. Mimpi yang hampir setiap malam menghampirinya dan membuatnya terbangun dengan perasaan luar biasa bahagia. Bahagia bercampur bingung.

" Kenapa berasa banget ya?" Hira masih meraba bibirnya dan terbayang ciuman lembut yang ia rasakan. Benar-benar seperti sungguhan.

Sebenarnya bukan ciuman itu yang membuat Hira merasakan gejolak di dadanya, tapi pria yang memberikannya ciuman di dalam mimpinya. Pria yang selalu datang di mimpinya setiap malam, tapi tidak pernah menampakkan wajahnya. Hanya senyumannya yang dihiasi giginya yang sedikit somplak karena patah.

Dalam mimpi itu, Hira selalu merasa pria itu adalah pria paling tampan di dunia. Ada perasaan rindu dan bahagia yang meluap-luap saat bersamanya.

Sayangnya, setiap kali Hira ingin melihat wajahnya lebih jelas, Hira malah terbangun. Ia tidak pernah berhasil melihat wajahnya dan akhirnya bangun dengan perasaan rindu yang luar biasa yang akhirnya menjadi rasa kesal karena tidak tahu perasaannya mau dikemanakan. Wajah pria itu saja ia tidak tahu sama sekali.

" Mungkin dia mirip Bradley Cooper atau Hugh Jackman atau Christian Bale?? Seandainyaaa..."

Di balik selimutnya Hira masih terus bertanya-tanya sambil berkhayal. Setidaknya ia bisa berkhayal daripada ia stress sendiri mencari jawaban, siapa pria itu sebenarnya.

" Hira, kamu ga pergi kuliah??!!" teriakan Riana yang merdu membangunkan Hira dari lamunannya. Hira menoleh ke arah jam dinding di atas pintu kamarnya dan membuatnya semakin tersadar dari lamunan.

" Mateng guaaa, telatt!!" Hira menghempaskan selimutnya, menyambar handuknya dan segera berlari ke kamar mandi. Jam dinding menunjukkan pukul 9.47 dan waktunya untuk mandi hanya 13 menit. Jam 10 dia sudah harus berangkat ke kampus.

Berangkat jam 10 di hari Rabu sudah dianggap terlambat karena mata kuliah di hari itu dimulai pukul 10.30. Untuk perjalanan Hira ke kampus saja bisa makan waktu paling cepat 45 menit. Itu pun kalau ia bisa mendapat angkutan umum dengan cepat dan angkutan umumnya tidak ngetem.

Ini semua gara-gara mimpi indah itu...

***

Jenny menyodorkan es jeruk pesanan Hira dan duduk di depannya. Ia menyeruput es blender capucinonya sambil menatap Hira, menunggu sahabatnya itu mengatakan sesuatu.

Rambutnya yang ikal dan lembut seperti arum manis, menari-nari ditiup angin. Setiap kali melihat rambut Jenny yang seperti itu, Hira biasanya akan meremasnya dengan gemas. Bahkan terkadang ia ingin mengigitnya.Kalau sudah begitu, Jenny akan memukul kepalanya dengan keras untuk menyadarkan dirinya dari kegilaan.

Jenny memang seperti bidadari jatuh dari surga. Rambut ikal lembutnya berwarna kecoklatan, kulitnya putih bersih tanpa jerawat sedikit pun, pipinya kemerahan jika berada di luar ruangan dan terkena terik matahari. Untuk itu dia tidak perlu menggunakan blush on. Mata Jenny juga besar dan coklat terang. Dia tidak perlu memakai kontak lens untuk membuat matanya tampak lebih terang lagi (yang seperti cewe-cewe biasa lakukan). Yang paling membuat Hira ingin mencekik Jenny setiap kali Hira memandang dan mengaguminya, Jenny punya tubuh yang tinggi ramping. Tidak terlalu kurus dan tidak gemuk. Baju apa pun yang ia kenakan pasti selalu cocok untuknya. Bahkan kalau Hira berencana belanja membeli baju, pasti akhirnya Jenny yang belanja walau pada awalnya dia hanya menemani. Sementara Hira hanya bisa gigit jari mencari baju yang benar-benar pas dengan tubuhnya yang 'bohai'.

Hira membalas tatapan Jenny dengan malas dan menyeruput es jeruknya dengan tidak kalah malasnya. Mimpinya tentang cowo itu masih terbayang setiap kali ia menutup mata. Bahkan di kelas Psikologi Organisasi tadi, yang dia sudah datang terlambat, ia masih melamun juga. Bu Yanti, dosen mata kuliahnya sampai menegurnya berkali-kali.

 

" Lo mimpi soal cowo itu lagi ya?" tanya Jenny, menebak dengan hati-hati. Hira langsung mengangguk penuh semangat.

" Menurut lo aneh ga sih, Jen?? Mimpi yang sama berkali-kali. Mood gua juga jadi jelek setiap abis mimpi itu." jelas Hira dengan mata berbinar-binar. Tangannya mengepal menunjukkan kegemasannya harus mengalami hal aneh semacam mimpi yang berulang-ulang.

" Yah, ga aneh juga sih. Lo kan suka ngebet pengen cepet-cepet nikah muda." Cerocos Jenny, membuat Hira terpaku.

" Iya, juga sih. Tapi emang ada hubungannya?" Hira tidak yakin. Rasanya mimpi itu terlalu kuat membekas di pikirannya. Alam bawah sadarnya kalau menurut ilmu psikologi.

" Kalau memang cuma gara-gara gua pengen kawin muda, kayaknya ga sampai segitunya. Ini udah setahun gua mimpi yang sama. 'Kan aneh bangettt."

Hira menatap Jenny yang tidak melepas-lepas mulutnya dari sedotan capucinonya. Sahabatnya itu hanya angkat bahu dan tampak tidak terlalu berminat dengan cerita mimpi Hira ini.

Hira menopang wajahnya dengan kedua tangannya dan memandangi es capucino Jenny yang sudah mulai habis. Perlahan bayangan cowo itu muncul lagi di kepalanya dan rasa gelisah kembali menghantui Hira.

" Gila yaa... Gua sampai segininya gara-gara itu mimpi. Mending kalau itu tanda siapa yang bakal jadi jodoh gua..."

Hira memonyongkan bibirnya dan memandang Jenny lagi. Ia tertegun saat melihat ekspresi Jenny yang tampak menahan sesuatu. Ekspresinya itu membuat Hira berpikir ulang tentang kata-katanya sendiri yang baru ia ucapkan.

Tanda siapa yang akan menjadi jodohnya?? Bukankah itu mungkin saja?? Ia juga mengenal beberapa orang yang diberi tahu siapa jodoh mereka secara spiritual. Jadi, bisa saja ia adalah salah satu orang yang mengalami hal yang sama.

" Jen, jangan-jangan itu cowo memang jodoh gua!!" bisik Hira, penuh semangat.

Jenny melepaskan gigitannya dari sedotannya dan memandang Hira dengan wajah yang pucat. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi menutup mulutnya lagi.

" Iya, mungkin saja," akhirnya Jenny mengiyakan kata-kata Hira. Walaupun Hira bisa menyadari sikap aneh Jenny, tapi ia tidak terlalu menggubrisnya. Ia terlalu bersemangat untuk mengetahui siapa sebenarnya jodoh di dalam hidupnya tersebut.

" Dia siapa ya, Jen??" tanya Hira, tanpa benar-benar berharap Jenny akan menjawabnya.

" Ya, kagak taulah. Gua aja belum pernah masuk ke mimpi lo buat liat tuh cowo."

" Heheheh... Nyebelin. Gua kan cuma nanya. Ga kudu dijawab."

" Haelah lo mah. Eh, abis ini gua ada kuliah lagi. Lo mau kemana?? Lo ga ada ketemu sama psikolog lo lagi tuh?"

Hira memonyongkan bibirnya mendengar tentang psikolog. Sudah setahun ini ia datang ke psikolog dan tidak ada kemajuan sama sekali. Ia tetap tidak bisa mengingat apa pun.

" Gua lagi males, Jen. Ga ada kemajuan. Ngapain gua ketemuan sama dia?" Hira memebereskan tasnya dan bangkit berdiri mengikuti Jenny yang akan keluar kantin yang mulai penuh dengan mahasiswa.

" Tapi kan setidaknya lo kudu coba. Emang lo ga mau inget kenapa lo bisa pingsan sebulan di rumah sakit?" tanya Jenny dengan suara membujuk.

" Udah males, Jen. Kenapa juga bukan kalian aja yang kasih tahu gua kenapa gua bisa pingsan di rumah sakit selama sebulan?"

" Lah, yang ngalamin kecelakaan kan elo. Bukan gua atau pun keluarga lo. Justru itu, kita pengen tahu."

" Oh, iya. Bener."

" Ok, gua kuliah dulu ya. Soal mimpi ga usah dipikirin. Daripada otak lo ntar tambah error. Ntar malah sampe ga inget gua lagi lo." Jenny menyeringai lebar sambil menepuk bahu Hira dengan buku kuliahnya yang beratnya 2 kilo lebih.

" Heheheh... Ok, bu. Kuliah yang bener lo."

Jenny melambaikan tangannya dan meninggalkan Hira yang terpaku di tempatnya. Tiba-tiba merasakan ada yang kosong di dalam dirinya. Entahlah. Setiap kali ia ditinggal sendirian, ia merasakan ada sesuatu yang tertinggal. Ia tahu ada yang salah dengan dirinya, tapi ia tidak mau mengambil pusing. Hira tidak mau membuat orang tua dan sahabat-sahabatnya merasa cemas.

Hira membuka folder yang berisi dokumen kuliahnya dan melihat jadwal kuliahnya di hari Rabu. Pukul 14.00 ada mata kuliah Statistik III. Sekarang pukul 12.30, dia masih punya waktu 1,5 jam untuk 'bersenang-senang'.

Tempat biasa Hira 'bersenang-senang' di kampus bukan tempat yang bisa dikatakan tempat untuk bersenang-senang. Hanya ruangan penuh buku alias perpustakan yang khusus ada di fakultas Psikologi. Hira juga juga sebenarnya bukan penikmat buku, dia hanya ingin 'nebeng' berselancar di internet dengan menggunakan wifi perpustakan dan tentunya tempat duduk gratis dan nyaman.

Hira keluar dari lift di lantai 5 dimana perpustakaan psikologi berada. Dari jendela-jendela kaca yang besar, Hira bisa melihat kalau sedang tidak banyak siswa yang nongkrong menghabiskan waktu dengan membaca. Eh, atau seperti yang Hira sering lakukan. Numpang online.

Kalau sedang tidak musim ujian seperti ini, perpustakaan memang lebih sering sepi. Maklum, mahasiswa Indonesia kebanyakan sibuk belajar kalau mau ujian saja. Setelah itu, dadah bye bye dan lupakan apa yang sudah dibaca.

Hira meletakkan tasnya di loker yang telah di sediakan untuk menitip barang. Ia mengambil barang-barang berharganya, handphone, dompet, laptop beserta kabelnya. Dia sudah tidak sabar ingin cepat-cepat membuka blognya.

Ya, setahun ini ia mulai banyak menulis di blog dan menuangkan apa yang ada dipikirannya. Jenny yang mengajarkannya membuat blog. Sementara Jenny sudah bosan bermain dengan blognya, Hira malah semakin getol menuliskan semua yang ada di otaknya ke dalam tulisan dan membiarkan orang lain membacanya dengan bebas.

Itu karena Hira bisa mengenal beberapa teman blog yang ternyata aktif juga menulis. Mereka saling mengunjungi setiap ada tulisan baru. Apalagi kalau tulisan yang dipostingkan benar-benar menggambarkan apa yang Hira pikirkan. Yah, rasanya bertemu orang-orang yang pemikirannya sama itu seperti bertemu keluarga yang sudah lama hilang karena dipisahkan oleh Perang Dunia II.

Masuk ke perpustakaan, Hira tidak langsung mencari tempat duduk. Ia mengambil buku yang kira-kira ok untuk dijadikan samaran seolah-olah ia sedang sibuk belajar. Ia berjalan ke arah rak buku-buku impor yang super tebal.

Cap cip cup belalang kuncup! Hira mengambil buku yang paling terakhir terkena jari telunjukny. Art and Visual Perception: A Psychology of The Creative Eye karangan Rudolf Arnheim.

Hira membawa buku itu bersama barang-barangnya ke bilik paling pojok yang kiri dari pintu masuk perpustakan. Tempat favorit Hira karena dekat dengan stok kontak listrik. Jadi, ia bebas menyambungkan listrik ke laptopnya kapan saja.

Tanpa peduli pada sekelilingnya, Hira mulai menyalakan laptopnya. Ia mulai merangkai-rangkai kata untuk postingan yang akan ia tulis nanti. Sementara ia menunggu laptopnya menyala dan siap digunakan, matanya terpaku pada meja tempat petugas perpustakan bekerja. Ibu Ira. Beliau sedang tidak ada di tempat, tapi setiap kali ke perpustakaan, Hira selalu terpaku melihat meja itu. Ia tidak ingat kenapa, tapi ada sesuatu di hatinya. Sesuatu yang manis, tapi terasa pahit juga.Iya, memang aneh.

Hira menghela napasnya, pelan. Ia berpaling kembali pada laptopnya dan mulai membuka aplikasi browsing yang biasa ia gunakan. Ia tidak langsung meluncur ke blog asuhannya. Facebook dan twitternya sepertinya perlu ia cek, walaupun ia memeriksa keduanya hampir setiap saat lewat smartphonenya.

Ada tiga notifikasi. Satu undangan untuk bermain game. Satu tag dari foto tas, dagangan temannya. Satu lagi undangan berteman dari seseorang bernama Benedict Julianto.

Untuk undangan berteman, Hira tidak mau menerima pertemanan sembarangan. Jangan-jangan orang itu seorang psikopat atau orang yang suka memperdagangkan wanita. Pokoknya dia selalu berhati-hati dalam hal ini.

Ia membuka profil cowo itu dan melihat foto profilnya. Ternyata lumayan cakep. Hira membuka 'about' untuk melihat biodata lengkap cowo ini. Tidak ada tanggal lahir, tidak ada status, hanya keterangan kampus dan jurusan.

Eh! Ternyata dia kuliah di kampus yang sama dengan Hira. Hanya saja angkatannya lebih tua dari Hira.Berarti setidaknya ia pernah papasan dengan cowo ini.

Hira jadi penasaran dengan cowo bernama Benedict ini dan mulai mengutak atik foto-foto albumnya. Dari foto-fotonya Hira bisa tahu kalau Benedict adalah anak orang berada yang bisa ke luar negeri kapan saja ia mau. Beberapa juga ada foto album pesta bersama teman-temannya.

Tapi melihat foto-foto itu Hira jadi bertanya-tanya, kenapa Benedict mau berteman dengannya?? Dia punya teman perempuan yang cantik-cantik. Luar biasa cantik malah jika dibandingkan dengan Hira.

Eh, kenapa pula dia harus bertanya seperti itu?? Memangnya kenapa kalau cowo ini mau berteman dengannya? GR sekali.

Karena tidak menemukan ada hal yang aneh dari profil cowo ini, Hira memutuskan menerima undangan berteman. Tapi kalau akhirnya nanti tiba-tiba dia mengirimkan spam atau berubah jadi shop online atau mengupload foto-foto tidak senonoh, Hira pasti akan langsung unfriend. Dia sudah kapok dengan orang-orang tukang tipu macam yang norak seperti itu.

" Eh, tapi tadi di katalog, bukunya tidak dipinjam kok. Kemana ya bukunya? Sudah dicari dengan benar??"

Hira menoleh ke belakang mendengar obrolan dua orang yang tampak bingung. Ternyata Mira, asisten Ibu Ira dan seorang cowo yang cukup keren.

Hei!! Itu kan Benedict!!

Mata Hira terpaku melihat Benedict yang ada beberapa meter di depannya. Dia lebih keren dari yang ada di foto. Dia tinggi atletis, rambutnya hitam lebat dengan poni membingkai wajahnya, mata sipitnya dibingkai alis yang tebal dan tatapan matanya tajam, gayanya keren dan rapih. Buat ukuran anak kuliahan, dia pasti punya banyak penggemar. Dia mirip oppa Korea. Cewe-cewe pecinta Korea pasti bisa lupa daratan kalau melihatnya

 

Benedict dan Mira masih terus bicara, sibuk mencari buku yang dicari Benedict. Sementara Hira masih terpaku memandang Benedict yang tampak bingung dan panik. Lama dipandangi akhirnya Benedict tersadar juga. Ia menoleh ke arah Hira dan beberapa saat tampak mematung. Ia membuka mulutnya, tapi kemudian menutupnya lagi. Membukanya lalu menutupnya lagi.

" Hai.." sapa Hira ragu-ragu.

" Ha..Hai.." Benedict membalas dengan nada tercekat. Ia menoleh beberapa saat ke arah Mira tadi menghilang, ia mengatakan sesuatu dan kembali menoleh pada Hira.

" Kamu.. Hira?" tanyanya hati-hati.

" Iya, tadi gua baru aja terima undangan temenan lo," jelas Hira sambil tertawa garing.

Mendengar kata-kata Hira, tiba-tiba kuping Benedict memerah, seolah-olah baru saja kepergok melakukan suatu kesalahan. Ia batuk pelan dan mendekati Hira lalu duduk di bilik sebelah bilik Hira.

Hira terkejut dibuatnya. Ia tidak menyangka cowo ini berani langsung duduk di sampingnya.

Apa dia benar-benar tertarik pada Hira? Ah, lagi-lagi Hira GR.

" Kenalin, aku Benedict. Panggil aja Ben."

" Oh, hi Ben!" Hira melambai pada Ben dan tertawa garing lagi. Semakin terasa garing karena Ben menyebut dirinya dengan kata 'aku'. Terasa terlalu formal.

" Aku add kamu... soalnya tertarik dengan foto-foto kamu.. yang lucu," jelas Ben, gugup dan terbata-bata. Mungkin dia gagap.

Memangnya foto Hira ada yang lucu? Foto serba monyong atau muka kucel atau muka baru bangun tidur. Semuanya hasil tag dari abangnya yang sering diam-diam memotretnya hanya untuk menghina-hina dirinya.

" Foto itu kerjaan abang gua," jelas Hira,masih dengan perasaan aneh.

" Oh, abang kamu lucu juga ya. Ng...Eh!" Hira tersentak karena Ben tiba-tiba berseru dengan keras. Matanya tertuju pada buku yang tadi Hira ambil.

" Itu.." tunjuk Ben tanpa menyelesaikan kalimatnya.

" Lo cari buku ini?" tanya Hira sambil mengangkat buku yang berat itu.

" Iya. Aku lagi cari bahan buat skripsi aku," jelas Ben dengan penuh semangat.

" Kamu lagi pakai?" tanyanya dengan mata penuh harap.

Hira memandang buku tebal itu dan langsung agak pusing membayangkan membaca buku berbahasa Inggris dengan teori-teorinya yang cukup ngejelimet. Disodorkannya buku itu pada Ben dan dengan senang hati cowo itu menerimanya.

" Untunglah. Soalnya tinggal buku ini aja yang aku butuhin,"

Hira mengangguk mengerti dan kembali menghadap laptopnya walau sebenarnya ia masih penasaran dengan Ben. Lama Hira berpura-pura sibuk dengan laptopnya dan merasa aneh karena Ben sepertinya masih ada di sebelahnya. Ia menoleh ke arah Ben dan memang dia masih di sana. Termangu memandangi Hira.

Wajah Hira langsung terasa panas karena dipandangi dengan serius. Ben yang menyadari ketidak nyamanan Hira langsung menundukkan pandangannya.

" Sori, aku lagi mikir buat minta nomor hp kamu."

Eh, agresif sekali dia!

Hira memandangi Ben yang tampak gugup luar biasa. Hira jadi merasa iba. Jangan-jangan dia memang punya banyak teman cantik, tapi tidak ada satu pun yang mau padanya.

Ah, masa sih orang seperti dia?!

Merasa Ben orang yang tidak berbahaya, Hira menyebutkan nomor teleponnya dan Ben bergegas menyimpan nomor itu di iphonenya. Iphone keluaran terbaru. Wahh...

Hira terpaku melihat gambar apel digigit yang tersemat diponsel Ben. Ia tidak tahu bakal bisa punya teman orang yang memiliki barang mewah itu. Selama ini teman-temannya tidak ada yang benar-benar tajir. Kalau pun punya barang mewah, pasti hasil kartu kredit yang dibayar orang tuanya.

Mungkin Ben sebenarnya orang yang sejenis.

" Aku miss call, ya?" Ben meminta ijin. Hira mengangguk dan mengeluarkan hp android merk cinanya.

Saat telepon masuk dan nada dering mati, Hira segera menyimpan nomor itu. BENEDICT."

Ng.. nanti aku hubungin ya. Sekarang aku harus balik. Ketemu dosen pembimbing."

Hira mengangguk mantap dan melambaikan tangan penuh semangat. Ia berharap Ben cepat-cepat menghilang dari hadapannya. Ben memang keren, tapi ia membuat Hira merasa tidak nyaman.

Mungkin karena dia terlalu keren untuk menjadi teman Hira??

***

Sawer  buat Ben, biar PDKT ke Hira lancar.