“ Kamu pasti bisa, Ra.” Bella menepuk bahuku, pelan. Senyuman hangatnya menghiburku, tapi tidak cukup untuk bisa meyakinkanku kalau aku bisa menyelesaikan apa yang ada di depan mataku.
“ Mari kita sambut, Diara!!” namaku disebut dan aku pun melangkah memasuki panggung. Alunan musik yang berputar memberiku tanda aku harus segera menari.
Aku menggerakkan setiap bagian badanku, menarikan tarian yang telah lama kulatih. Aku terus menari tanpa mau melihat pada wajah para juri. Aku hanya mengikuti musik dan menari sesuai dengan alunan lagu. Sampai akhirnya lagu berakhir, kurasakan jantungku berdegup kencang.
“ Silahkan Diara maju ke depan.”
Aku melengkah ke depan agar lebih dekat dengan juri.
“ Selamat siang, Diara.”
“ Siang” jawabku lirih dengan mike di tanganku.
“ Kamu punya bakat yang sangat bagus. Tapi sayang…”
Ini dia…Ini dia…Dia akan mengatakan aku tidak layak untuk jadi juara.
“ Kamu kurang percaya diri. Apakah berada di atas panggung ini begitu menakutkan? Jika kamu tidak benar-benar menginginkan panggung ini, lebih baik kamu menari di belakang panggung.”
Aku memandang wajah juri itu. Wajah yang ramah tapi kata-katanya tajam. Aku tahu ini semua akan terjadi. Aku memang tidak cocok jadi penari. Tidak cocok sama sekali.
“ Aku…Aku tahu…”
“ Jadi, kenapa kamu mengikuti kontes ini?”
“ Temanku…ikut lomba ini…”
“ Apa kau ingin menang?”
Aku menggeleng pelan. Juri itu tampak kecewa. Kedua juri yang lain hanya mengetuk-ngetukkan jari mereka atau menopang dagu mereka dengan tangan.
“ Kenapa kamu tidak ingin menang?”
Tanya salah satu juri wanita.
“ Karena…saya tahu saya akan kalah…” Suaraku semakin lirih.
“ Ok, sudah cukup! Terima kasih, Diara.” Si ketua juri memberi tanda pada MC untuk peserta berikutnya. Aku melangkah mundur dan masuk ke belakang panggung. Di belakang panggung Bella kembali menepuk bahuku.
“ Tidak apa-apa, Ra. Tidak apa-apa…” ucapnya. Lebih terdengar ragu.
“ Sudah giliran kamu.” ucapku. Bella mengangguk dan masuk panggung. Lagu terdengar mengiringi setiap gerakan tubuhnya yang lentur. Ia menari seperti burung yang bebas. Wajahnya tampak puas dan seperti ingin memasukkan semua bagian dari dunia ke dalam genggaman tangannya.
Aku selalu terpesona melihat cara Bella menari. Padahal kami memiliki aliran dansa yang berbeda. Aku mengikuti street dance, sedangkan Bella seorang penari balet sejati. Yang selalu membuat aku kagum adalah matanya yang lebih hidup dari biasanya saat ia menari. Matanya mengatakan setiap makna dari gerakannya, entahkah kesedihan, entahkah kegembiraan, cinta, atau kekaguman…Tariannya hidup…
***
“ Kan aku sudah bilang aku tidak perlu ikut lomba ini!! Kamu Cuma ingin mempermalukan aku!!” bentakku pada Bella. Aku melirik piala juara pertama di tangannya dan merasakan dadaku semakin sesak.
Lagi-lagi…Bella memenangkan perlombaan. Entah sudah piala ke berapa yang ia terima sejak kami bersama-sama memutuskan untuk menjadi penari profesional. Bella selalu menang dan aku selalu kalah. Ya, aku selalu kalah. Seperti saat ini.
Padahal aku sudah bekerja keras. Aku berlatih setiap hari. Aku berlatih hingga kelelahan, tapi aku selalu kalah dan kalah.
“ Ra, aku ga bermaksud. Maaf, ya. Kalau kamu mau piala ini, ambil saja.” Bella menyodorkan piala itu ke padaku dan kurasakan wajahku memanas. Aku merasa seperti dijatuhkan lebih dalam.
“ Aku tidak butuh pialamu! Aku akan memiliki pialaku sendiri!!” Aku merenggut piala itu dan melemparkannya jauh-jauh. Bella tampak terkejut. Ia memandangku dengan tatapan tidak percaya, tapi ia tidak berkata apa-apa. Ia pergi mengambil piala itu kembali sementara aku segera pergi meninggalkannya.
Aku tidak menoleh lagi. Aku tidak mau Bella menghampiriku dan membicarakan masalah perlombaan itu lagi. Aku muaaakkk…
***
“ Hei, Ra!! Mana senyumanmu??!!” Bella meneriakiku dengan keras. Padahal aku baru memulai tarianku.
“ Iya..” gerutuku sambil memutar ulang lagu.
Lagu mulai berputar. Memasuki setiap aliran darahku dan aku pun menari. Menari seperti burung yang terbang. Aku merasa seperti bisa melakukan apa pun. Aku cinta menari. Sepertinya aku bisa menari sepanjang hidupku. Tanganku, kakiku, aku menikmati setiap hentakan yang kurasakan ditubuhku saat musik mengalun dan memompa darahku.
Di sisi ruangan Bella memperhatikanku dengan puas. Tatapan mata yang beberapa hari ini sudah sering kulihat. Sedangkan kemarin-kemarin ia tampak lelah dan iri. Entah apa yang mengubah pandangan matanya itu.
“ Bravooo!! Kalau kamu menari seperti ini, besok pasti kamu menang Ra!” Bella berseru penuh antusias. Aku hanya tersenyum bangga.
Aku menyalakan musik lagi dan mengambil handukku. Mengelap keringatku dan menyambar air mineral. Kuteguk air mineral itu sampai 7 kali tegukan. Aku menoleh pada Bella yang menggoyang-goyangkan tangannya. Aku berlari mendekat dan menyambar gagang kursi rodanya. Kudorong kursi itu dan kuputar-putar sementara Bella merentangkan tangannya sambil bersenandung. Aku melihat mata yang sama, mata yang sama saat ia menari dengan kedua kakinya. Menari dengan lincah seolah dunia hanya miliknya.
Hari itu..Hari dimana aku melemparkan pialanya, itulah hari terakhir ia menari dengan kedua kakinya. Aku tidak tahu kalau Bella mengalami kecelakaan karena mengambil piala itu. Aku mengetahuinya keesokan harinya saat orang tuanya menelepon ke rumah.
Waktu itu aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya berdiri di depan kamar dimana Bella di rawat. Aku mendengar Bella menangis. Ia meraung. Ia tidak menerima…Kakinya diamputasi. Kakinya yang berharga…
Berminggu-minggu aku tidak mau menemuinya. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Semua salahku. Salahku…Kalau saja aku tidak melemparkan piala itu. .Bella layak untuk membalaskuu..
Tapi aku tidak bisa terus menerus lari darinya. Bella datang ke rumahku dan langsung datang ke kamarku dengan kursi rodanya. Ia memandangku dengan kesal.
“ Teman macam apa kamu?!!” serunya kesal. Aku bisa merasakan sesak di dadaku saat ia berkata seperti itu. Biarlah ia memakiku. Biarlah ia marah padaku. Biar puas dan lega hatinya.
“ Kenapa kau tidak menjengukku satu kali pun!!?? Aku membutuhkanmu!! Kenapa kamu tidak datangg??!!”
Waktu itu aku terpaku mendengar kata-kata Bella. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan satu kata pun. Aku hanya menangis dan menangis. Tangisku semakin keras saat Bella mengulurkan tangannya dan aku memeluknya dengan erat. Dia memaafkanku.
Tiga bulan telah berlalu, sekarang, akulah yang menjadi kaki Bella. Dia melatihku untuk mencintai tarian. Dia selalu meneriakiku untuk tersenyum saat menari di depan banyak orang. Sering kali ia memakai rasa bersalahku agar aku mau menari di depan orang banyak, tapi apa yang ia lakukan padaku membuat aku mengerti bahwa ia benar-benar mencintai dunia tari.
“ Kaki dan tanganku boleh hilang, tapi aku tidak akan berhenti menari, Ra.” ujarnya di satu malam saat aku menginap di kamarnya. Saat itu aku bisa merasakan api di hatinya. Api yang membara membakar dirinya saat dirinya menari. Tubuhnya mungkin terbatas untuk menari, tapi jiwanya tidak pernah bisa berhenti menari.
“ Ra, jangan kubur mimpimu ya. Kamu bisa jadi seorang penari terkenal Ra..Pasti bisa..”
Kalimat itu bukan hiburan atau dukungan semata. Kalimat itu adalah iman Bella terhadap hidupku dan hari ini menjadi imanku juga.
***
" You can do it, Ra. Jangan lupa senyumm!!” Bella menepuk bahuku dengan wajah tegang. Aku tersenyum dan mencubit pipinya pelan.
“ Iya, bu guru.” Bella tampak lega memandangku.
Ini pertama kalinya aku mengikuti lomba tanpa Bella menjadi sainganku. Justru ia menjadi pelatihku. Aku tidak tahu apakah aku akan menang atau tidak. Yang aku tahu, aku ingin menari…Menari sampai seluruh dunia tahu kalau aku mencintai tarian.
“ Inilah dia, Diara!!”
Namaku dipanggil dan bergegas aku masuk ke panggung. Musik diputar dan aku merasakan musik itu mengalir dalam darahku. Aku menari seperti burung yang terbang bebas. Seperti dunia hanyalah milikku….
***
Trakteer cendol untuk Dara & Shani supaya hidup mereka terus happy.
0 Comments