Sebagai seorang introvert*, waktu mendapat kabar sekolah diliburkan dan kantor diberlakukan work from home (WFH), saya salah satu si introvert yang bergembira. Berati waktu saya di rumah akan lebih banyak. Saya tidak perlu keluar bertemu orang dan berbasa basi. Padahal selama ini juga memang jarang di luar. Sebagai ibu rumah tangga sebagian besar waktu saya tentu saja saya habiskan di rumah. Entah kenapa pemberlakuan WFH ini tetap membuat saya senang... saat itu.
Setelah seminggu WFH berjalan, saya pikir saya kurang berpikir panjang bahwa WFH bisa menguntungkan para introvert untuk bisa mengisi batrai mood agar tetap maksimal. Kenyataannya, anak tetap di rumah 24 jam yang berarti saya tidak punya Me Time sama sekali. Biasanya, kalau bocah berada di sekolah, 2 jam menunggu jam pulang sekolah, saya memanfaatkan waktu untuk mengisi batre mood saya. Melakukan kegiatan sendirian. Entah beres-beres rumah atau menonton drakor. Pokoknya sendirian. Hanya saya dan diri saya.
Suami kerja di rumah, tidak perlu berkejar-kejaran dengan waktu membuat bekal makan siang dan menyiapkan baju kerja. Kenyataannya, meja kerja saya akhirnya dipakai untuk Aki bekerja. Saya juga harus memastikan bocah tidak berisik dan mengganggu Aki bekerja (FYI kami tinggal di kontrakan petak yang tidak memiliki kamar khusus - mirip apartemen studio - tidak ada kamar berpintu selain kamar mandi).
Walaupun sebagai introvert tidak akan merasa tersiksa di awal seperti yang dirasakan ekstrovert, toh di minggu ke 3 WFH saya mulai merasa gelisah. Merasa sumpek dan melelahkan saat ke luar rumah harus melakukan ritual baru, memakai masker, jaga jarak, saat pulang harus segera mandi dan menyemprot barang belanjaan agar steril. Rumah yang sudah kecil semakin terasa sumpek.
Lucunya di group para introvert masih saja banyak yang menganggap bahwa masa WFH ini sangat menguntungkan para introvert. Iya, mungkin di beberapa bagian betul tapi ternyata tidak juga. Seperti anggapan bahwa introvert tidak perlu bertemu orang. Kenyataannya, kami tetap butuh bersosialisasi. Introvert tidak sama dengan kecemasan sosial, minder atau anti sosial. Kami masih harus bertegur sapa dengan orang lain. Berbasa basi dengan senyum, tapi jangan terlalu ramai atau terlalu lama.
Kenyataan lainnya, ya ternyata justru waktu khusus untuk mengisi batrai harian kami akhirnya mau tidak mau hilang juga. Terutama dengan rumah seperti keluarga saya. Bisa dibilang efek dari WFH ini lebih cepat dirasakan oleh para ekstrovert dan agak lambat oleh introvert.
Apa pun itu, WFH ini ternyata bisa membuat para introvert bosan juga. Tapi saya tetap bertahan dan masih hidup. Haahaaha.
Lebih baik saya mengorbankan 2 jam Me time saya daripada melihat anak dan suami di luar rumah dengan resiko tertular covid-19. Masa pademi ini akan berakhir dan semuanya akan kembali normal. Kalaupun akhirnya untuk kembali normal butuh waktu yang lama, dalam 3 bulan, otak dan badan saya akan terbiasa dengan situasi baru ini.
Lalu bagaimana cara saya mengisi batrai mood selama WFH ini? Karena, jujur, pada saat semuanya mulai sangat melelah dan mood saya drop parah, pikiran buruk dan kecemasan yang dulu pernah saya rasakan kembali lagi. Cara saya mengatasi hal ini ga banyak sih. Pertama, menyediakan waktu sendirian di malam hari saat bocah sudah tidur atau tidak terlalu memikirkan kebutuhan Me time. Maksud saya tidak terlalu memikirkan kebutuhan Me Time, menanamkan pikiran baru bahwa tidak punya Me Time secara khusus pada masa ini bukanlah sebuah masalah. Karena kalau saya terus mempermasalahkannya, semakin saya akan merasa tertekan dan lelah. Jadi, ya terima aja.
Tetap semangat Di Rumah Aja, Jaga Jarak, Pakai Masker, Cuci Tangan, dan Tetap WARAS!!
Semoga pademi ini cepat berakhir.
*introvert: cenderung berbalik ke dalam, atau lebih fokus pada pikiran, perasaan, dan suasana hati internal daripada mencari stimulasi eksternal. (Sumber: Verywellmind)
Meme: piximus
0 Comments