Tiga tahun lebih menjadi ibu, hal yang paling sulit dilakukan untuk bocah saya satu-satunya bukanlah memperjuangkan ASI (sempat baby blues karena ASI yang sedikit), tapi membangun karakternya. Sebagai orang tua saya dan suami harus terus menerus mengajarkan sikap yang baik dan memperbaiki sikap yang buruk. Berkali-kali memberi disiplin perilaku buruk yang sama sampai ia benar-benar mengerti dan mengimbanginya dengan memastikan selalu memberi pujian dan senyuman untuk setiap sikap baik yang ia tunjukkan.
Salah satu sikap baik yang kami ajarkan berulang dan paling sulit adalah mengajarkan meminta maaf. Di usia menjelang 3 tahun Gi sudah kami ajarkan meminta maaf, dia tahu artinya tapi sulit sekali mengucapkannya. Pernah, saya dengan bodohnya marah-marah karena Gi sama sekali tidak mau membuka mulutnya untuk minta maaf. Saya lupa kalau anak saya hanya bocah laki-laki berusia 3 tahun yang bahkan belum benar-benar jelas mengucapkan huruf "R" .... Kriikk.. Krriikk..
Saya sampai frustasi takut Gi menjadi orang narsistik yang selalu merasa benar dan tidak merasa apa yang dilakukannya adalah salah. Ketakutan yang berlebihan sebenarnya.
Selama beberapa bulan berdoa (doa chit chat dengan Tuhan ga sampe berlutut - saya agak kurang dalam hal berdoa yang khusuk), menganalisa, kenapa Gi ga mau minta maaf...Akhirnya saya "ngedong" ada 2 hal yang paling bisa dan berhasil mengajarkan Gi meminta maaf,
Mendengarkan dan Mengerti
Ga usah anak kecil, orang dewasa pun akan sulit meminta maaf saat dia tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan mengapa ia berbuat 1 kesalahan. Bukan cari-cari alasan yaa...
Setiap saya mengingat kesalahan Gi, saya melihat sebenarnya banyak kesalahan Gi terjadi sebenarnya memiliki maksud baik hanya saja Gi belum bisa menyampaikan dengan cara yang benar. Misalnya, Gi kalau gemas dan sayang bisa menggigit atau memencet pipi mamanya. Mungkin karena masih belum bisa mengontrol kekuatannya kadang tanda sayangnya itu jadi begitu menyakitkan -_-' .
Alasan lainnya bisa jadi karena Gi membela diri. Misalnya, temannya mengganggunya dengan cara yang kasar. Karena kesal, ia membalas. Mengerti dan mendengarkan alasan ia berbuat salah bukan berarti setuju dengan tindakannya.
Untuk saat ini Gi sendiri belum pintar bercerita dengan detail apa yang sebenarnya ia alami jadi, mau tidak mau saya yang harus lebih banyak belajar melihat dan menganalisa sambil memastikan apakah yang saya maksud sesuai dengan perasaan Gi.
Contoh dialog yang sering terjadi antara saya dan Gi,
" Gi, tadi diganggu teman ya?"
" Iya."
" Didorong teman?"
" Iya."
" Tapi Gi jangan mukul ya. Dipukul kan sakit. Gi bilang aja, 'jangan gitu ya'"
" Jangan gitu yaa"
" Iya, bilang kayak gitu. Gi, say sorry ya."
* nyamperin teman
" I'm sorry (salam). Jangan gitu yaaa."
Aslinya sih ga selancar dialog di atas. Biasanya lebih lama untuk saya menjelaskan pada Gi kenapa perbuatannya salah. Belum lagi reaksi Gi yang ngambek karena mengoreksi tindakannya. Apalagi kalau dia lihat saya seperti lebih memihak temannya daripada dia (padahal temannya juga salah - maaf ya gi, mama masih belajar buat bersikap adil).
Tapi minimal dengan dialog seperti di atas Gi biasanya lebih mau minta maaf daripada saya langsung menaikan nada bicara dan menyuruhnya minta maaf tanpa memikirkan perasaannya. Yahh.. Saya juga tidak suka sih kalau diperlakukan seperti itu.
Memberi Teladan
Mengajarkan kata maaf pada Gi ini selain dengan cara lebih mendengarkan dia adalah dengan menjadi teladannya. Tadinya saya memang agak segan untuk mengucapkan kata maaf saat harus melakukan sesuatu yang pastinya akan mengecewakan dia. Iya saya pikir buat apa saya minta maaf toh keputusan saya itu buat kebaikan dia. Tapi, saat dipikirkan lagi, saya harua memberi contoh. Saya meminta maaf bukan karena menyesali keputusan yang saya ambil tapi karena tindakan saya mau ga mau membuat dia kecewa.
Istilahnya, " Maaf aku menyakitimu, tapi aku tidak menyesal melakukannya karena aku menyayangimu."
*halahhhh
Mungkin inilah murninya seorang anak, setelah mendapat permintaan maaf, dia dengan cepat langsung kembali ceria. Dia tidak menyebutkan daftar semua dosa Mamanya pada dirinya hahhaha.
Dari mengajarkan Gi meminta maaf ini saya belajar bahwa sebenarnya meminta maaf memiliki banyak manfaat buat kesehatan mental kita. Sudah saya tuliskan di postingan ini.
Bukan berarti lalu meminta maaf menjadi begitu murah. Minta maaf lalu ulangi kesalahan, meminta maaf ulangi kesalahan dengan dasar pikiran " Ah, nanti juga dimaafkan." Tidak seperti itu. Itu sih namanya memanfaatkan kepercayaan orang lain.
Sampai sejauh ini masih banyak PeeR untuk membangun karakter Gi. Yang selalu Tuhan ingatkan adalah lakukan secara berulang dan sabar. Jadi Mama yang realistis, bukan idealis perfeksionis. Jangan sampai obsesi ke-Mamaan saya yang ingin punya anak seperti malaikat malah membawa penolakan pada jiwa Gi yang ujungnya Gi terluka. Jangan sampe.. Amit-amit *ketok2 meja.
12 Comments