[Artikel] Menyiapkan Pernikahan Bahagia



Pernikahan didasarkan cinta. Bukankah itu indah? Tentu saja indah. Tapi, anehnya setelah beberapa tahun, pernikahan tidak lagi terasa indah. Malah seperti neraka.

Alasannya? Banyak. Mulai dari keuangan, keluarga pasangan, cara pandang dan nilai-nilai yang berbeda, gaya hidup, bahkan pendidikan.

Apakah semua masalah tersebut baru muncul di masa-masa sulit pernikahan? Tidak. Semuanya sudah ada dari awal. Bahkan jauh sebelum sepasang sejoli saling jatuh cinta. Semua faktor di atas berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada pada masa pacaran dan dibawa masuk ke dalam pernikahan.

Apa yang salah? Pasangan salah? Mungkin iya. Bagaimana dengan kita yang memilih manusia tersebut sebagai pasangan.

Kesalahan yang sering dilakukan banyak pasangan adalah mendasari keputusan pernikahan hanya karena cinta yang membara, karena terbiasa atau yang lainnya tanpa menggunakan hikmat dan akal sehat.

Perlu DICATAT bahwa saat seseorang jatuh cinta, orang tersebut banyak dipengaruhi oleh hormon, salah satunya dopamine. Hormon ini menimbulkan rasa menenangkan, menyenangkan, memuaskan, yang membuat orang menginginkannya lagi dan lagi. Hormon inilah yang bekerja saat orang melakukan hobi, hubungan seks, olahraga, termasuk mabuk obat-obatan terlarang. Jadi, bisa kita bayangkan mengapa orang yang sedang jatuh cinta disebut mabuk asmara. Melihat si dia jantung berdebar cepat, di ulu hati seperti ada kupu-kupu menari. Seperti sedang memakai kacamata kuda. Dialah yang terindah. Bahkan kelemahannya adalah sebuah mahakarya mulia.

Sayangnya, efek dopamin ini menjadi tidak terlalu berarti setelah 3-4 tahun. Sensasinya tidak abadi. Tidak sedahsyat di awal-awal hubungan. Saat efek mabuk itu mulai pudar mulailah terlihat semua dengan jelas. Kebawelan tidak lagi terdengar menggemaskan. Sikap diam tidak lagi terlihat cool. Yang tadinya kita anggap kelebihan menjadi sesuatu yang menyebalkan. Yang tersisa akhirnya hanya “karna terbiasa”. Saat semuanya menjadi tak tertahankan keluarlah kata perceraian.

Itulah mengapa bagi kita yang masih dalam proses pendekatan, pacaran, masih punya kesempatan untuk memperbaiki cara kita bertanya saat memikirkan pernikahan. Ubahlah pertanyaan “Akankah dia menerimaku apa adanya? “ dengan pertanyaan “Akankah aku menerima dia apa adanya?”

Pertanyaan “Akankah aku menerima dia apa adanya?” bukanlah pertanyaan untuk menyaring menemukan pasangan yang sempurna. Tetapi untuk menemukan orang yang kita akan sanggup hidup dengannya dalam sebuah pernikahan sampai ajal menjemput. Cinta? Harus ada, tetapi biarkan cinta berjalan bersama hikmat dan kebijaksanaan. Karna jika kita hanya menggantungkan keputusan memilih seseorang menjadi suami atau istri kita hanya berdasarkan cinta, seperti penjelasan di atas.. Saat dopamine mulai tidak bisa menunjukkan kehebatannya yang tersisa hanya kesadaran akan kelemahan dan perbedaan diantara kita dan pasangan.

Untuk itu, alangkah lebih baik jika sejak awal saat kita mulai jatuh cinta, mulailah melakukan evaluasi dan pertimbangan. Sekali lagi, bukan untuk mencari pasangan yang sempurna tapi yang sepadan, yang kita sanggup hidup dengan segala macam kelemahan dan kelebihannya.

Perhatikanlah beberapa hal ini:

1. Pekerjaan



Apa pekerjaannya? Bagaimana ia bekerja? Seperti apa sikapnya terhadap suatu tanggung jawab? Seorang dokter, polisi, perawat, bidan, harus siap 24 jam saat dipanggil dalam keadaan-keadaan darurat. Apakah kita siap saat pasangan kita dipanggil tugas ditengah-tengah acara penting?

Bagaimana dengan pekerjaan yang membutuhkan waktu ke luar kota atau ke luar negeri dalam beberapa hari, minggu, bulan bahkan tahun? Siapkah kita ditinggalkan dan menunggu?

Lalu sikapnya dalam menyelesaikan tanggung jawab. Apakah dia tipe yang perfeksionis, seadanya, santai, atau sistem kebut semalam?? Apa yang dia lakukan pastinya akan terlihat juga saat menjadi pasangan.



2. Bagaimana ia marah?

Mengapa hal ini harus dipertanyakan? Bukankah semua orang marah dengan cara yang sama? Meledak-ledak? Kenyataannya cara orang marah berbeda-beda. Ada orang yang meledak-ledak, tapi beberapa saat kemudian amarahnya sudah padam. Ada juga yang diam tidak mau bicara sampai beberapa lama. Ada yang marah tanpa bicara tapi ternyata sudah membalas amarahnya dengan tindakan tertentu. Cara orang ini marah mau tidak mau akan kita hadapi juga pada saat mengalami konflik dengan orang tersebut.

Ada satu cerita yang benar-benar terjadi. Seorang wanita menyukai seorang pria. Pria ini memiliki semua kriteria yang ia inginkan sebagai calon pasangan hidup. Suatu hari ia dan teman-teman lainnya nongkrong bersama pria ini. Pria ini berbincang-bincang dengan temannya seperti biasa, tapi tiba-tiba ia melontarkan amarahnya dengan nada yang cukup keras hingga teman bicaranya terdiam. Saat itu wanita itu tersadar, pria ini beberapa kali berespon dengan cara yang sama dalam beberapa situasi. Ia seperti terbangun dan berkata pada diri sendiri bahwa ia tidak bisa hidup dengan pria ini.

Di lain waktu, setelah beberapa tahun ia sudah melupakan pria tersebut, datang pria lain yang mendekati. Pria ini jauh dari kriteria yang ia harapkan. Bisa dikatakan tidak masuk hitungan. Tapi suatu hari, si wanita dan pria ini berdiskusi tentang proyek bersama teman lainnya. Entah mengapa tiba-tiba si wanita diminta menjauh dari ruangan dan menunggu. Dari dalam ruangan terdengar si pria marah besar atas sikap temannya yang tidak bertanggung jawab. Wanita ini menangkap bahwa ia diminta menjauh agar pada saat pria ini marah, ia tidak sampai mempermalukan dan menjatuhkan harga diri temannya. Peristiwa itu mengubah pertimbangan si wanita. Ia memberi rasa hormat pada pria tersebut dan akhirnya wanita ini memutuskan menikah dengan pria tersebut. Respon-respon pada saat suaminya marah bisa ia terima dan mengerti walau ada beberapa masalah ia merasa bisa mengimbangi suaminya.

Bagaimana dengan pria yang sebelumnya? Si wanita merasa mengambil keputusan yang tempat dengan tidak menyirami lagi perasaan-perasaannya pada pria tersebut. Karna kualitas yang dulu ia pikir sesuai, tidak benar-benar nyata.

Bagaimana dengan kita yang sedang memepertimbangkan? Siapkah kita menerima cara ia marah??



3. Keuangan

Seperti dijelaskan di atas, salah satu penyebab masalah dalam rumah tangga adalah keuangan. Kebiasaan-kebiasaan memakai uang di masa single tentunya akan mempengaruhi keuangan setelah pernikahan. Masalah keuangan ini bukan hanya tentang kebiasaan boros, tapi juga terlalu perhitungan.

Mungkin kita orang yang sangat suka memberi, bisakah kita menerima orang yang sangat perhitungan? Jika ya, mulai berkomitmen menerima dan melakukan penyesuaian.

Atau kita orang yang sangat suka berinvestasi dan menabung, apakah kita bisa mentoleransi orang yang suka memberi tanpa perhitungan atau punya hobi belanja?
Pertimbangkan kebiasaan ini baik-baik karena mau tidak mau kebiasaan mengelola keuangan orang tersebut akan mempengaruhi keuangan kita juga nantinya.


4. Bagaimana pengaruh orang tua terhadap pengambilan keputusan.

Pernikahan bukan hanya menyatukan dua invidu tetapi juga 2 keluarga. Setiap keluarga sendiri memiliki kebiasaannya masing-masing. Ada yang saling memberi masukan dan pendapat, ada yang mengambil keputusan masing-masing, ada yang harus selalu taat pada otoritas. Bagaimana orang itu melibatkan keluarga dalam pengambilan keputusan akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang dia ambil dalam pernikahan nanti. Bagaimana dia memandang keterlibatan orang tua? Apakah orang tua ikut andil atau hanya sebagai penasehat? Yang mana yang bisa kita toleransi dan sanggup kita menyesuaikan diri?


Masih banyak hal yang perlu diperhatikan dalam kita mempertimbangkan seseorang menjadi pasangan hidup. Tapi ingat, sekali lagi, bukan untuk mencari yang sempurna tapi yang bisa kita imbangi, kita toleransi, kita sesuaikan.

Menganalisa, mencermati, mengevaluasi kelemahan seseorang dengan kesadaran penuh lalu berkomitmen menerima, mentoleransi dan mengkomunikasikannya agar bisa berjalan bersama, akan membuat kita lebih siap menghadapi proses penyesuaian dengan pasangan. Menjadi lebih mudah? Belum tentu, tapi setidaknya kita tidak terkejut luar biasa. Lagipula dalam pernikahan komitmen untuk menerima pasangan adalah keputusan yang harus dilakukan terus menerus. Bukan hanya pada saat cinta bersemi.

Catatan untuk kita sendiri, jadikan evaluasi ini untuk melihat dan bercermin pada diri sendiri serta memperbaiki diri. Kelemahan pasangan sebenarnya bisa menjadi kekuatan asalkan kita dan pasangan sama-sama mau belajar dan menyesuaikan.

Artikel ini saya tulis untuk kepribadianmu.com edisi Mei 2017

5 Comments