Bukaan 2 - Brojol (Gi Menuju Kelahiran)
Sudah sebulan ya sejak Gi lahir. Sudah lama ingin menulis tentang proses kelahiranntya untuk pengingat hehe. Ini sambil menyusui, sambil menulis di memo handphone. Hehehe.
Jadi, kelanjutan cerita Bukaan 1, dari hari itu saya sempat frustasi juga. Sudah bukaan 1 dan sudah flek kenapa belum kontraksi juga. Dalam hati berdoa terus supaya kontraksi cepat datang, jadi tidak perlu lama-lama menunggu Gi lahir.
Hari Senin, Selasa masih belum ada tanda-tanda peningkatan kontraksi juga. Saya masih melakukan kegiatan rumah tangga seperti biasa. Aki malah menyarankan saya mengepel jongkok. Sayangnya saya sudah selesai mengepel Aki baru memberi saran itu. Waktu malam hari, menjelang tidur, karena tidak mungkib mengepel, saya menirukan posisi tubuh jika sedang mengepel jongkok. Ternyata perut jadi sedikit mulas. Seperti sedang 'datang bulan'.
Entah karena posisi mengepel jongkok itu atay bukan, dini hari saya merasakan perut saya semakin mulas. Mulas seperti sedang 'datang bulan'. Saya tidak langsung membangunkan Aki. Siapa tahu kontraksi palsu. Saya hitung-hitung jarak antara kontraksi dan lamanya kontraksi. Ternyata setiap 5 menit. Setelah merasa yakin bukan kontraksi palsu, saya bangunkan Aki. Aki cek lagi untuk memastikan bukan kontraksi palsu.
Sekitar pukul 3 pagi kami memesan taksi. Sekitar pukul 5 pagi akhirnya masuk ruang tindakan Cendana di RSAB Harapan Kita.
Di ruangan yang sama dan di tempat tidur yang sama. Berjodoh sekaliii. Bidan jaga langsung mengecek kontraksi kandungan saya dan ternyata baru setiap 10 menit. Cek bukaan, ternyata baru bukaan 2. Bidan jaga bilang, mungkin masih akan lebih lama. Nyeheeeeheee.. Jangan bilang harus pulang lagi!!
Saya dan Aki sampai berpikit kalau kami salah berdoa. Seharusnya kami jangan hanya minta kontraksi saja, tapi bukaannya juga. Sambil berharap bukaan 10 tidak terlalu lama, ditemani Aki, saya bolak balij jalan untuk membantu Gi cepat masuk jalan lahir. Ternyata kontraksi itu lebih sakit dibawa tidur dan lumayan berkurang waktu dibawa jalan.
Berdasarkan wejangan emak dan emak mertua supaya makan banyak untuk mengisi tenaga supaya kuat mengejan, saya makan semua yang dihidangkan di hadapan saya. Mumpung masih mau makan.
Sampai siang bukaan masih bukaan 2. Waktu bidan telepon dokter yang menangani saya, ada kemungkinan kalau sampai sore tidak ada kemajuan, saya disarankan pulang. Padahal kontraksi yang saya rasakan sudah semakin kuat. Kalau disarankan pulang, saya pilih tidak pulang. Daripada brojol di jalan.
Sambil terus berdoa dan berharap, saya masih terus berjalan-jalan di sekitar ruang tindakan. Aki hitung supaya saya jalan minimal 15 menit, baru boleh istirahat.
Entah sore jam berapa, saya mulai kelahan. Terasa sekali Gi sudah benar-benar turun. Saya putuskan untuk istirahat dan tidur. Kontraksi yang datang dan pergi lumayan bikin frustasi. Sampai kontraksinya tiba-tiba membuat saya ingin mengejan. Beberapa kali saya mengejan saat kontraksi. Saya pikir itu normal. Lalu...
Breeessss!!
Sekitar jam 4 air ketuban saya pecah. Rasanya seperti mengompol. Pipis yang tidak bisa ditahan dan merembes dengan cepat. Saya beri tahu Aki dan Aki langsung memanggil bidan.
Bidan membenarkan kalau ketuban sudah pecah. Mereka memeriksa bukaan dan ternyata sudah bukaan 4. Mungkin sekitar pukul 9 malam sudah bukaan penuh. Yeaayyy!! Senang sekali mendengarnya.
Tapi saya langsung frustasi lagi waktu bidan bilang saya tidak boleh mengejan. Masalahnya setiap kontraksi datang saya ingin mengejan. Kontraksi yang saya rasakan tidak seberapa sakit, tapi menjadi sakit sekali karena dilarang mengejan sedangkan setiap kali kontraksi secara spontan saya mengejan.
Aki habis saya tarik-tarik setiap kali kontraksi datang. Untung bukan saya gigit atau cakar. Hanya kaosnya jadi agak melar karena saya tarik-tarik. Setiap kali saya kesakitan karena kontraksi, Aki selalu menenangkan dengan mengusap tangan atau kepala, tapi di saat terakhir saya minta dia tidak menyentuh saya karena jadi bingung dengan sentuhan dan rasa sakit yang harus saya tahan (istri yang durhakaaa ).
Larangan mengejan itu belum seberapa. Beberapa kali kontraksi dan spontan saya mengejan, isi lambung saya keluar semua. Jadilah saya beraroma muntahan. Sia-sia makan banyak untuk mengumpulkan tenaga.
Beberapa kali saya tidak tahan kontraksi, saya bertanya terus pada Aki, "Berapa lama lagi??!"
Aki hanya menjawab, "Sebentar lagi. Sabar ya."
Saya melihat jam dan saya tahu yang Aki maksud sebentar itu beberapa jam yang akan terasa sangat lama.
Aki hanya menjawab, "Sebentar lagi. Sabar ya."
Saya melihat jam dan saya tahu yang Aki maksud sebentar itu beberapa jam yang akan terasa sangat lama.
Pukul setengah 9 kontraksi semakin hebat. Saya makin sering menarik-narik baju Aki dan bertanya, "Sampai kapan??!!"
Karena sudah tidak tahan, akhirnya saya minta Aki memanggil bidan untuk bertanya berapa lama lagi. Bidan datang dan menenangkan saya supaya bersabar (dan tidak berhasil...sakiitt cuuyy). Akhirnya bidan memeriksa bukaan lagi dan ternyata bukaannya sudah lengkap!!
Bidan mengatakan kalau saya sudah boleh mengejan!
Karena sudah tidak tahan, akhirnya saya minta Aki memanggil bidan untuk bertanya berapa lama lagi. Bidan datang dan menenangkan saya supaya bersabar (dan tidak berhasil...sakiitt cuuyy). Akhirnya bidan memeriksa bukaan lagi dan ternyata bukaannya sudah lengkap!!
Bidan mengatakan kalau saya sudah boleh mengejan!
Jujur, kalimat bidan itu ada kabar paling menggembirakan melebihi berita kulit manggis ada ekstraknya. Bahkan saya tidak ingat rasa sakitnya dan menunggu dengan tidak sabar kontraksi berikutnya datang.
Begitu tahu bukaan sudah lengkap, para bidan jaga langsung mempersiapkan proses persalinan dan segera memanggil dr. Sudirmanto. Rasanya waktu itu semuanya santai saja. Saya tidak merasa frustasi atau stress. Aki yang tadinya tidak mau melihat proses persalinan akhirnya menunggu dan menyaksikan.
Dokter datang tidak terlalu lama. Bersamaan dengan kakak saya datang. Dokternya benar-benar santai. Sambil menunggu saya diinfus dan mendapat induksi, ia masih sempat keluar ruangan untuk menyapa dokter lain untuk mengucapkan selamat lebaran.
Saat kontraksi saya semakin sering, ia baru datang dan mulai menuntun saya untuk mendorong Gi. Bidan-bidan yang lain juga membantu saya menunjukkab cara yang benar untuk mengejan. Saya merasa sangat tertolong dan bisa tenang dengan penanganan mereka.
Beberapa kali mengejan saya sempat muntah lagi. Bidan juga bertanya apa saya mau istirahat. Saya jawab tidak. Saya ingin cepat selesaiii.
Ada sekitar setengah jam dari persiapan sampai Gi akhirnya lahir. Rasanya??? Seperti BAB yang keras akhirnya bisa lancar. Maaf jorok, tapi memang rasanya seperti itu. Legaaa.
Aki dan kakak saya menjadi saksi mata bagaimana Gi lahir. Hihihi.
Selesai dibersihkan Gi langsung ditaruh di dada saja. Maksudnya supaya inisiasi menyusui dini, tapi bukannya mencari payudara ibunya, dia malah tidur. Akakakak.
Oh ya, waktu dokter sempat gunting Ms. V saya, bohong kalau tidak terasa. Terasaaa!!! Sakit?? Lebih sakit kontraksi, itu kenapa waktu digunting dibilang tidak terasa.
Waktu dijahit pun, Gi sudah ada di dada saya, itu terasaaa!!! Sakit??? Lumayan. Seperti dicubit pakai kuku. Lebih tidak nyaman setelah dijahit. Puji Tuhan tidak perlu ada buka jahitan.
Jadi, lahirlah Gyan Luigi Mora Sewow tanggal 30 Juli 2014 pukul 21.55 . Dengan berat 2,9 kg dan panjang 46 cm.
Pertama lihat langsung terlihat wajah bapaknya. Badannya penuh bulu seperti Esau ( tapi berkatnya Yakub ya, Nak).
Esoknya Gi langsung dibawa ke ruang tempat saya dirawat dan dia terus bersama saya selama 3 hari. Tidak ada yang menjagai kami juga, jadi benar-benar menghabiskan waktu untuk mengenal Gi selama 3 hari itu (sampai sekarang sih).
Awal-awal saya masih bertanya-tanya, ini anak siapa? Saya tidak mengenal dia. Responnya pun sedikit. Selama 3 hari itu saya mengerti bahwa seorang ibu pun tidak otomatis mengena anaknya. Saya masih punya peer yang banyak untuk mengenal dia selain memenuhi kebutuhan dasar dan mengajarkannya banyak hal.
Tidak seperti yang orang katakan, mengasihi anak bisa otomatis karena kita yang melahirkan, ternyata aslinya sulit buat saya. Apalagi memang bayi hanya bisa menangis untuk komunikasi.
Ada kenyamanan yang tercabut saat saya menjadi seorang ibu. Waktu tenang saya, tidur nyaman saya, pikiran stab saya dan banyak lagi. Menjadi seorang ibu benar-benar sebuah kerja keras. Belajar keras. Sejujurnya tidak enak saat semua kenyamanan itu dicabut. Kita bisa saja memilih untuk kabur. Saya sempat berpikir begitu. Hahahaha
Ada kenyamanan yang tercabut saat saya menjadi seorang ibu. Waktu tenang saya, tidur nyaman saya, pikiran stab saya dan banyak lagi. Menjadi seorang ibu benar-benar sebuah kerja keras. Belajar keras. Sejujurnya tidak enak saat semua kenyamanan itu dicabut. Kita bisa saja memilih untuk kabur. Saya sempat berpikir begitu. Hahahaha
Tapi balik lagi, Roh Kudus yang menguatkan. Memberi pengertian bahwa Gi adalah tanda kepercayaan Tuhan pada saya dan Aki. Saya diingatkan lagi tentang mimpi-mimpi saya buat Gi. Supaya dia maksimal di dalam Tuhan. Ia juga mengingatkan saya bahwa di saat-saat frustasi saya mengurus Gi, ada Tuhan yang akan selalu memberi kekuatan. Kekuatan buat saya ibunya, kekuatan buat Aki ayahnya. Kekuatan buat kami, orang tuanya.
Seperti saya pernah mengaminkan kata-kata Aki, Gi bukanlah milik kami. Dia milik Tuhan. Dengan cara itulah kami akan melihat dia. Berharga dan mulia. Sama seperti Tuhan memandang kami.
Papa Mama sayang Gi. Tapi Tuhan Yesus lebih sayang Gi lagi. Kami orang tua yang tidak sempurna, Nak. Tapi akan berusaha menjadi orang tua yang terbaik untukmu. Kamu adalah permata hati kami. Cium sayang buat Gi.
2 Comments