Perhelatan Pilpres 2014 sudah berakhir. Teeettt!!! Ternyata belum. Masih ada drama kelanjutannya. Yang sudah muak bersabar yaaa... Apalagi yang berperan kali ini Capres yang saya dukung. Jadi, pasti timeline FB saya juga bakal banyak bahas soal beliau lagi. Hehehhe...
Soal drama, bukan hanya kejadian kemarin yang bisa dikatakan drama demokrasi yang cukup mengguncang sekaligus membanggakan (negara demokrasi mana yang bisa capresnya begitu?? Akakkaka.. *ngelesss), sebelumnya tanggal 9 Juli ada drama lain di rumah saya tercinta di Cilegon.
Masih berhubungan dengan copras capres. Jadi begini ceritanya....
Tanggal 8 Juli 2014, saya dijemput orang tua supaya bisa pulang ke Cilegon dan melakukan pencoblosan Pilpres yang sangat kita nanti-nantikan. Tadinya beraaattt banget mau perginya. Yang dipikiran nanti Aki siapa yang ngurusin, nanti Aki makan apa, dan berjuta pikiran seorang istri yang kuatir soal penghidupan suaminya. Alesannya sih Aki tidak mau ditinggal, padahal saya yang tidak mau pisah. Akakkaka...
Akhirnya dengan iman memutuskan, kalau memang harus pulang ke Cilegon ya Aki ijinkan. Kalau tidak, ya tidak diijinkan. Gitu aja kok repottt :p
Selasa malam, 8 Juli 2014 akhirnya saya dijemput orang tua saya beserta kakak, adik, dan ponakan-ponakan saya. Rameee!! Udah lama tidak kumpul dengan keluarga. Senang dan antusias luar biasa.
Di antara rasa senang dan antusias itu, saya baru mengerti setelah beberapa lama di jalan kalau ternyata baru saja ada perdebatan hebat di mobil selama dalam perjalanan menjemput saya di kontrakan. Perdebatan yang seru antara adik laki-laki dan Papa. Perdebatan yang diangkat, apalagi kalau bukan tentang Pemilu?? Akakkaka...
Saya sendiri tidak tahu pasti apa yang sebenarnya diperdebatkan, tapi dari cerita kakak saya, perdebatan itu cukup mengganggu. Kakak saya yang berharap berkumpulnya kami bisa dilewati dengan senang dan gembira, malah jadi runyam karena diisi perdebatan tidak 'berarti'.
Sampai di rumah, saya dan kakak saya sangat bersemangat berdiskusi tentang capres yang kami dukung sedangkan adik-adik saya pemilih yang bersikap tenang. Sepertinya kecenderungan Papa yang akan mengemukakan pikiran tanpa takut dan ragu, diwariskan pada kami berdua... Hehehhe...
Diskusi kami yang seru mulai terasa panas saat saya dan kakak saya melihat reaksi adik saya yang setengah-setengah mengemukakan pikirannya. Kami mengingatkannya untuk mengemukakan pendapat atau pemikiran jangan setengah-setengah supaya orang lain tidak salah paham. Waktu itu saya sangat mendukung apa yang jadi pendapat kakak saya.
Sampaii...
Kakak saya naik pitam. Ia mengingatkan adik saya yang melakukan hal yang sama berkali-kali waktu berdebat dengan Papa. Kakak saya melihat adik saya menjawab perkataan-perkataan Papa tidak dengan rasa hormat.
Lagi-lagi adik saya menjawab dengan setengah-setengah dan agak 'ngeyel'. Di sini saya mulai diam. Sadar diri kalau tindakan saya hanya akan membuat suasana makin panas, saya memilih mendengarkan dua orang yang ada di hadapan saya.
Kakak saya mendengar jawaban-jawaban adik saya yang 'ngeyel' bertambah panas. Ia yang biasanya tertawa-tawa dan tidak terlalu ambil pusing terhadap masalah, tampak sangat marah besar. Belum pernah saya melihat kakak saya marah seperti itu.
Melihat kakak saya yang tampak terus memojokkan adik saya, Mama angkat suara dan mengomel dengna tindakan kakak saya. Kakak saya sudah pasti membela diri dan mengatakan maksudnya. Ia tidak ingin adik kami ini bersikap tidak hormat pada Papa kami. Walau pun beda pendapat, kami ingin adik kami tetap bisa memberikan rasa hormat pada orang tua kami.
Anehnya, sepertinya Mama tidak bisa mengerti apa yang jadi maksud kakak saya. Suara Mama semakin meninggi dan kesal. Beliau yang biasanya tenang, tiba-tiba jadi emosional, bahkan saat dia sedang menyapu, gerakannya jadi penuh amarah.
Waktu itu, Tuhan seperti mencolek saya dan membangunkan saya, semua drama ini sudah tidak beres. Saya langsung bangkit berdiri, memegang dada adik laki-laki saya yang sedang mengomel dan menjawab kata-kata kakak saya.
" Man, sssttt.. udah jangan dijawab! Doa dan sebut nama Yesus," cuma itu yang saya katakan pada adik saya dan dia langsung ok dan diam.
Kakak saya sudah masuk kamar dan mengunci pintu, sementara Mama masih mengomel dengan penuh emosi. Saya mendekati Mama yang sudah mau membanting kursi karena saking kesalnya. Saya ambil kursi itu dari tangan Mama dan tetap jatuh juga sihh... Lalu membujuk beliau agar tenang.
Mama menangis sangat kesal karena tekanan yang kakak saya berikan pada adik saya. Beliau merasa kakak saya tidak adil menekan adik saya seperti itu. Sambil mengajaknya ke kamar, saya menjelaskan maksud kakak saya sebenarnya baik. Tapi, Mama tidak bisa langsung menerima. Tidak lama setelah saya dan Mama masuk kamar, adik laki-laki saya masuk dan membujuk Mama saya agar tetap tenang.
Saat itu saya percayakan Mama pada dia karena saya tahu dia akan bicara dengan bijak agar Mama bisa tenang.
Yang benar-benar saya kuatirkan adalah kakak saya. Saya belum pernah melihat dia marah besar. Yang saya pikir, pasti ada yang tidak beres. Saya menyusul kakak saya di kamar dan Puji Tuhan ponakan saya sudah tidur semua, jadi mereka tidak perlu melihat drama yang heboh.
Saya berusaha memberi pengertian pada kakak saya kalau adik kami tidak seperti biasanya. Memang saat melihat perdebatan mereka, saya melihat adik saya yang berbeda. Dia yang biasanya selalu mundur dari perdebatan, kali ini maju mundur dan bersikap menyebalkan. Yang saya tahu, itu bukan dia. Tapi, saya juga melihat kakak saya tampak berbeda.
Saya bertanya pada Tuhan, " Tuhan, ada apa neh??" dan saya hanya diingatkan tentang roh perpecahan (mari kita salahkan iblis ramai-ramai akakka). Roh perpecahan yang menunggangi pilpres dan akhirnya terbawa ke dalam rumah kami.
Mendapat jawaban seperti itu, otomatis saya langsung berbahasa Roh dalam hati. Aakakka... Enak aje mau pecah-pecahin keluarga gua. Akhirnya, tidak tahu bagaimana, kakak saya terbuka tentang masalah yang sedang menekannya dan dia belum cerita pada siapa-siapa. Saya cuma bisa menangis mendengar beban yang kakak saya tanggung. Masalahnya, beban itu sering ia temui. Saya heran kalau dia masih terus bersabar dan setia dengan pelayanannya dengan beban yang seperti itu. Komitmennya untuk terus melayani Tuhan di tengah situasi yang tidak enak dan penuh duri membuat saya hancur hati.
Kakak saya terus mengungkapkan isi hatinya. Tentang kekuatirannya melihat adik kami menjawab kata-kata Papa seperti saat di perjalanan. Ia tidak ingin adik kami mendapat kutuk. Firman Tuhan sudah berkata kalau kami anak-anak harus menghormati orang tua supaya panjang umur dan diberkati. Orang tua kami sudah bersusah payah menyekolahkan kami setinggi mungkin. Melakukan ini dan itu. Bayar banyak harga untuk kami. Itu mengapa kakak saya sangat marah dengan sikap tidak hormat adik saya. Amarahnya bercampur aduk dengan rasa kecewa, kuatir, dan kasih sayang sebagai seorang kakak yang ingin mengingatkan. Ditambah dengan tekanan batin yang sedang ia alami.
Akhirnya terbongkar semua akarnya bukan?? Ya, lalu Babe mendorong saya yang jarang berdoa ini untuk berdoa bersama kakak saya. Ah, ya anehnya waktu berdoa malah saya yang nangisnya bombay, sesenggukan, dan seperti orang pelepasan. Hehehhe... sadar tidak sadar, saya punya kerinduan yang sama tentang kedua orang tua kami. Ingin bisa membanggakan dan membahagiakan mereka. Tapi keterbatasan kami membuat kami tidak bisa melakukan banyak dan malah lebih sering merepotkan mereka, lagi dan lagi... Nyesekkk rasanyaaa...
Selesai berdoa, tidak lama kemudian adik saya mengetuk pintu dan saya membukakan. Waktunya rekonsiliasi!! Ya, adik saya yang gentleman itu langsung datang pada kakak saya. Ia berlutut dan minta maaf.
Mau nangiss lagi ingetnya. Hahhaha...
Kakak saya nangis semakin kuat. Dia ungkapkan kekuatiran dan rasa sayangnya. Dia peluk dan usap-usap kepala adik saya. Saya yang jadi orang ketiga cuma bisa bernafas lega dan senyam senyum geli sambil dalam hati mikir (kalah lo iblis).
Sementara itu di luar kamar, adik perempuan saya yang dari tadi hanya cengengesan melihat pertengkaran tadi, masuk dan muncul dengan keriangannya yang seperti biasa. Seperti yang sudah Tuhan tetapkan, dia adalah penghibur di dalam keluarga kami. Pembawa tawa yang saya dan saudara saya yang lain tidak bisa lakukan hehehhe...
Ya, akhirnya kami berkumpul berempat dan mendiskusikan situasi Pilpres yang panas. Saya menceritakan apa yang saya dapatkan saat melihat pertengkaran antara adik dan kakak saya. Roh perpecahan yang sejak awal bukan cuma tahu-tahu menyerang keluarga kami, tapi juga bangsa ini (bahkan gereja). Mungkin tidak terlihat secara gamblang, tapi jika kita sendiri tidak menyadarinya, roh itu memang sedang terbang berkeliling-keliling menipu setiap orang yang bisa ditipu.
Dari diskusi kami, kami baru tahu kenapa adik laki-laki kami jadi bersikap menyebalkan. Ia kuatir akan keselamatan keluarga kami. Ia kuatir jika nanti ada huru hara, saya, kakak saya, dan Papa yang dengan gamblang menyuarakan dukungan kami, bisa menjadi korban. Buat saya pribadi terdengar aneh, tapi saya mengerti ketakutannya. Saya dan kakak saya akhirnya memberinya pengertian kalau ia tidak perlu takut. Di jaman demokrasi seperti ini, orang-orang sudah lebih pintar dan sudah lebih mengerti. Saya dan kakak saya percaya tidak ada yang perlu ditakutkan dan dia pun bisa tenang.
Pembicaraan pun akhirnya dilanjutkan dengan cerita adik perempuan saya yang minta didengarkan tentang kehidupan pribadinya. Maksa bangettt. Akakkaka... Bukannya diberi empati, malah kami jadikan bahan olok-olokkan. Ya gimana, wong cuma mau cerita dan cari persetujuan. Akakkaka...
Eh, tapi ternyata drama belum berakhir. Drama lain kami saksikan. Jerman membantai Brasil 7-1. Saya yang pendukung Jerman saja, sampai tidak tega menontonnya dan pergi tidur sebelum pertandingan selesai. Aakakkaka.... PUji Tuhan Jerman JUARA DUNIA!!! (padahal negera sendiri juga bukan bleeehhh :p ).
Yah, apa pun itu. Pilpres kali ini memang penuh dengan drama dan air mata. Bersyukur bisa heboh-hebohan seperti kemarin. Kalau tidak, mungkin kami akan jarang menunjukkan kasih sayang kami satu sama lain. Atau saya tidak akan tahu kondisi kakak saya yang tertekan dan dia tidak akan bisa menumpahkannya. Saya juga tidak akan tahu kalau adik saya punya pemikiran dan kekuatirannya sendiri. Saya juga tidak bisa berdoa bersama kakak saya dan mencurahkan isi hati kami pada Tuhan sebagai seorang anak yang rindu bisa membahagiakan orang tua kami.
Jadi, segala sesuatu itu mendatangkan kebaikan itu YA dan AMIN. Tuhan bisa putar hal buruk menjadi baik dalam sekejap mata. Iblis bisa ambil banyak hal dalam hidup kita, tapi dama sejahtera, sukacita, belas kasihan, pengampunan, dan semua yang sudah Tuhan ajarkan serta janjikan, siapa yang bisa ambil??
Tuhan Yesus memberkati keluarga kami. Terpujilah nama Tuhan!!
0 Comments