Mari kita berandai-andai...
Seandainya saya kembali ke jaman SMA dan diberi kebebasan untuk memilih... Mungkin saya ingin masuk jurusan desain atau sastra.
Seandainya saya ternyata tidak bisa melanjutkan kuliah, saya akan minta kursus menjahit dan mulai membuat usaha jasa menerima jahitan. Hahhaha...
Seandainya dulu di SMA ada jurusan bahasa, pasti saya ambil jurusan bahasa...
Seandainya..
Tapi kenyataannya, saya lulusan IPS dengan nilai pas-pasan. Masuk jurusan Psikologi dan baru lulus di tahun ke 7. Kerja di sekolah, malah berkutat di bidang administrasi (tapi saya suka bidang ini ternyata :p).
Semua berawal dari satu flyer UKRIDA yang nangkring di gereja saya dulu di bawa mantan pacara kakak saya. Saya membacanya dan tertarik dengan jurusan Psikologi. Waktu itu sempat berpikir kalau mempelajari psikologi pasti akan sangat menyenangkan. Sebatas itu saja dan saya kembali berpikir untuk masuk desain atau seni karena saya suka menggambar.
Berjalannya waktu, di bangku SMA saya semakin suka menulis dan saya mulai berpikir untuk mengambil sastra. Orang tua tidak setuju, akhirnya berpikir mengambil jurusan ilmu komunikasi. Ya, mungkin jurusan itu yang masih bisa diterima keluarga saya.
Anehnya, pemikiran saya itu dibelokkan oleh pertanyaan teman saya,
" Lo masuk mana?"
" Mungkin sastra atau ilmu komunikasi. Lo masuk apa?"
" Gua ga tau. Mungkin akutansi kayak temen yang lain."
JDEEENGGG!! Sebenarnya jawaban teman saya itu wajar, tapi entah kenapa jawaban itu buat saya terdengar aneh dan bikin shock.
Saya berpikir kuliah ada penentuan masa depan dan harus dipikirkan dengan serius. Memilih jurusan berdasarkan karena banyak teman yang memilih buat saya seperti 'bunuh diri'.
Aneh.. Sejak itu saya berubah pikiran. Saya tidak berpikir tentang jurusan sastra atau komunikasi lagi. Saya hanya berpikir bagaimana caranya saya bisa balik ke sekolah lagi dan membantu anak-anak seperti teman saya itu.
Lalu brosur UKRIDA muncul lagi di depan saya dan tadaaa... Tekad saya mengeras dan membulat..lat.. Saya harus masuk Psikologi UKRIDA. Bahkan saat saya mencoba tes masuk Perguruan Tinggi Negeri, saya tidak berharap banyak. Yang saya ingin kan saat itu hanya Psikologi UKRIDA.
Mulussss...saya masuk Psikologi UKRIDA. Hasil ujian Perguruan Tinggi Negeri mengumumkan saya tidak lolos pun tidak membuat saya sedih karena saya memang mengejar Psikologi UKRIDA.
Apa yang terjadi di Psikologi UKRIDA??
Banyakkk...
Semester pertama, saya terancam tidak lanjut kuliah karena masalah keluarga.
Semester kedua, saya masuk komsel dan hati langsung terikat dengan Abbalove.
Semester ketiga, masuk menjadi anggota BEM, ikut Excellent Servant Camp dari Abbalove, pertama kali ketemu Aki di komsel.
Semester kelima, masuk BEM lagi dan naik jadi koor. bid. kerohanian.
Semester ketujuh, masuk BEM lagi dan jadi ketua BEM yang dari semua kandidatnya cuma saya yang mengatakan SIAP jadi ketua BEM -.-...(berasa dikerjain).
Semester ketujuh, jadi Pemimpin Kelompok Sel bersama sahabat dekat di jurusan yang sama
Masuk jadi DUTA UKRIDA dan bertugas ke sekolah-sekolah untuk promosi UKRIDA. Di sini juga saya semakin jatuh hati untuk bekerja di sekolah.
Semester kedelapan, ikut Wanita Bijak dan mulai deket sama Aki.
Semester sepuluh, tidak lulus ujian skripsi. Feeling so baaaddd. T.T. Ortu restuin hubungan sama Aki.
Semester sebelas, LULUSSSS!!
Kerja di Pre-School 2 bulan dengan gaji minim dan 1 bulan kemudian di terima di Tunas Muda dan bekerja sampai sekarang.
Terus, cita-cita saya tercapai tidak?? Bekerja di sekolah ya, tapi secara profesi tidak. Menyesal atau tidak??? Mengeluh, ya..Tapi saya tidak menyesal.
Dari sejak awal saya memutuskan mau masuk ini atau itu, saya tidak mau mengikuti apa kata orang. Bukan berarti tidak mendengarkan masukan orang, tapi belajar satu hal,
Hari ini. Saat ini. Apa pun keputusan yang saya ambil jangan sampai karena orang lain. Keputusan yang saya ambil sekalipun salah, saya tidak boleh menyesalinya, tapi belajar dari apa pun yang telah saya putuskan.
Kenapa berpikir seperti itu?? Karena, kalau saya mengambil keputusan karena orang lain, saya akan menyiksa diri saya sendiri. Saya akan menyalahkan orang lain jika ada masalah. Saya akan katakan, " Gara-gara kamu..!!"
Saya tidak mau memiliki perasaan seperti itu. Kalau pun seandainya, saya menerima keinginan orang tua saya untuk memasukkan saya menjadi bidan, dokter, atau polisi... Saat itu saya berpikir, biar saya mengambil keputusan dengan hati yang bulat. Bukan setengah-setengah. Bukan biar orang tua ga ribut. Bukan dengan kata-kata 'Ya udahlah.' tapi karena saya siap menerima konsekuensi yang akan saya terima dari keputusan saya tersebut.
Makanya waktu saya tidak lulus skripsi dan orang tua ngomel, " Makanya kan dulu dibilang jangan ambil Psikologi. Susah sih dibilangin.".. Saya tidak marah atau menyalahkan mereka. Masuk psikologi adalah keputusan saya dan orang tau saya bicara seperti itu sudah menjadi resiko yang akan saya tanggung.
Ternyata masuk psikologi Ukrida ga bikin saya jadi orang hebat tuh..Nyesel ga ya?? GAAA!! Karena kalau saya tidak masuk Psikologi UKRIDA, saya ga ketemu Tuhan. Saya ga masuk Abbalove. Saya ga masuk komsel. Saya ga ketemu temen-temen kuliah saya, temen-temen gereja. Ga ketemu Aki.
Saya ga akan ketemu Pak Evan (dosen) yang ngajarin tentang penginjilan, ga ketemu Pak William yang ajarin tentang public speaking, ga jadi ketua BEM, ga jadi DUTA UKRIDA yang bikin saya makin pengen masuk ke sekolah, ga ketemu Bu Ratih yang jadi dosen inspirasi saya, ga akan ngerti ilmu psikologi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan ketidak lulusan saya di sidang skripsi pertama saya tidak saya sesali (tapi tetap belajar dari kebodohan saya itu) karena kalau saya lulus di saat itu, saya tidak akan mendapatkan pekerjaan saya di Tunas Muda.
Semuanya seperti sudah Tuhan rangkai dengan indah. Kegagalan saya, kebodohan saya, kesuksesan saya, semuanya mempengaruhi hidup saya di hari ini. Jadi memori yang akan saya ingat untuk saya pelajari untuk... bisa menyenangkan hati Tuhan dengan cara yang lebih baik lagi.
Semuanya berawal dari pertanyaan itu..
" Lo masuk jurusan mana??"
Yakobus 1:6-7… sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan.
2 Comments