Sudah dua bulan saya duduk di depan gerbang sekolah setiap hari, mencatat nama-nama anak-anak murid yang terlambat. Awalnya harga diri terkoyak, perlahan mulai menerima, lama-lama terbiasa dan menikmati akkakakak (sudah bawa buku segala buat dibaca atau catatan buat nulis-nulis apaan kek).
Ok, saya bukan mau bahas soal itu. Kalau yang itu mau BERSYUUUKURRRR (sampe gede-gede nulisnya), ternyata tugas ini ga seberat yang saya kira (otak saya memang suka agak lebay). Berkat bantuan teman-teman sekerja juga. Kalau mereka lewat suka goda-godain satpam baru atau apalah, jadi saya bisa cengangas cengenges. Ga ngelamun mulu. (Kata salah satu atasan saya, saya Ms. Galau... Entah kenapa saya disebut begitu).
Jadi, ternyata..Tugas ini mengajarkan satu hal... Tepatnya Tuhan mengajarkan satu hal... "Lasma, didik anak kamu nanti dari rumah ya!! Jangan ngandelin sekolah doang! Liat tuhhh! Kasian anak-anak itu!"
Kira-kira kayak gitulah ya kalau Roh Kudus ingetin saya...(kebayang Emak di rumah). Belum lagi ada anak yang suka telat pernah bilang, " Mama saya bilang ya saya emang begini Ms. Tukang telat. Mau diapain lagi." *tepok jidad.... Tarik napas buang.
Dua bulan ini saya mencatat nama-nama siswa yang telat dan sebagian besar orangnya itu-itu saja. Kadang pengen kasih stamp LATE bukan di student planner mereka, tapi jidad mereka. Tapi tetap saja kalau liat muka mereka ga bisa marah keras sampe melotot (gampang luluh). Rasanya tuh mau ngomong,
" Nak, kamu tuh jangan kebiasaan kayak gini. Gimana nanti kalau kamu di luar sana. Udah kerja. Orang telat itu paling disebelin orang, percayalah... dan banyak waktu terbuang kalau kamu telat."
Ya, kata-kata itu cuma bisa ketelen aja. Secara yang udah telat itu sudah ngeloyor pergi setelah namanya dicatat dan dapat stamp LATE di bukunya.
Saya merasa bersyukur waktu saya masih SD sampai SMA ibu saya ngomel-ngomel setiap pagi sampai kuping saya sakit. Bangunin sambil teriak-teriak karena anak-anaknya pada malas bangun dan cuma bisa menggeliat-geliat di kasur dengan air liur yang masih menggenang di bantal (iuuuhhh...).
Sekarang sih masih suka gitu, tapi ga mungkin dibangun sama Enyak lagi kan. Setidaknya dari teriakan enyak dan ancaman babeh kalau telat bakal ditinggalin, saya belajar kalau waktu itu berharga. Datang tepat waktu itu penting dan sangatttt penting.
Babeh saya di rumah juga selalu mengulang-ulang frasa ini "Kerjakan apa yang bisa kamu kerjakan hari ini. Jangan ditunda-tunda."
Tentang menghormati yang lebih tua juga. Berulang-ulang orang tua saya selalu mengingatkan untuk selalu hormat pada yang lebih tua. Tidak boleh panggil nama, harus ada kata Ka, Bang, Pak, Bu, Tante, Om... Salam dan cium tangan itu harus!
Kalau kami membuat suatu hal yang tidak sopan, orang tua saya pasti langsung memberi kode amarah, 'melotot'. Kalau kata-kata kami mulai kelewatan saat di rumah, orang tua kami bisa marah-marah dan menyidangkan kami.
Dulu hal seperti ini saya anggap menyebalkan, tapi sekarang saya mengerti bahwa didikan orang tua saya menjadi bekal yang sangat berharga di dunia pergaulan saya. Menjaga nama baik orang lain berarti menjaga nama baik diri sendiri. Menghormati orang lain berarti menghormati diri sendiri.
Semua itu tidak saya dapatkan dari sekolah, tapi dari rumah. Guru saya tidak bisa hanya konsentrasi mendidik satu orang. Murid di sekolah banyak. Banyak pula yang bermasalah. Mereka hanya bisa mendidik berdasarkan peraturan yang berlaku, akibatnya terhadap murid lain bukan personal dan pribadi (secara 1 kelas bisa 40 anak).
Sekarang saya baru mengerti apa artinya pendidikan itu semuanya berawal dari RUMAH.
2 Comments