Suatu hari seorang siswa bertanya pada saya, “ Memangnya Ms. Lasma waktu kuliah jurusannya apa?”
Sambil cengengesan saya jawab, “ Psikologi.”
“ Loh kok, jadi sekertaris? Saya kirain Ms lulusan D3 gitu.”
“ Yah, begitulah. Tapi psikologi juga berguna buat jadi pembina OSIS, tauuu..” saya ngeles.
Sebelum saya bekerja di sekolah ini dan sebelum saya mengambil jurusan Psikologi di kuliah saya, saya telah memutuskan untuk menjadi seorang guru Bimbingan & Konseling. Selama saya kuliah dan sebelum saya bekerja pun saya sudah gembar gembor pada teman-teman saya kalau saya ingin menjadi guru Bimbingan & Konseling daripada menjadi seorang psikolog klinis atau HRD.
Sekarang saya benar-benar bekerja di sekolah, duduk di depan komputer dan mengerjakan hal-hal berbau administarsi, menjaga printer agar tidak ada anak-anak yang print dokumen semaunya, mengejar-ngejar guru untuk segera menyerahkan dokumen-dokumen yang harus dikumpulkan, menelepon orang tua murid saat ada murid yang harus menerima pendisiplinan setelah pulang sekolah.
Tiga bulan pertama bekerja, harga diri saya terkoyak (halah, padahal suruh siapa nerima kerjaan ini). Saya susah-susah kuliah cuma buat jadi penjaga printer. Cuma buat mengerjakan urusan administrasi. Malu…
Kalau teman tanya, “ Kerja dimana?”
“ Sekolah.”
“ Oh, guru ya.”
“ Bukan. Admin.”…
Rasanya tuh – orang boleh tanya saya kerja dimana, tapi jangan sebagai apanya…Bahkan waktu dosen pembimbing skripsi saya tanya saya kerja jadi apa, waktu dengar jawaban saya, ekspresinya ‘agak’ kaget. Mungkin dia mau bilang kalau saya seharusnya tidak bekerja seperti itu.
Saya iri pada teman-teman yang mendapatkan pekerjaan sebagai Guru BK. Saya iri pada teman-teman yang bekerja sesuai dengan jurusan mereka. Saya frustasi waktu guru lain bertanya, “ Jadi, kamu guru atau bukan Lasma?” …. Saya sendiri tidak tahu.
Tapi Tuhan ingin saya melihat dari sudut pandang yang berbeda. Menjadi guru tanpa label guru. Maksudnya, Tuhan pengen saya memiliki jiwa seorang guru meski pun saya tidak punya label guru di jidad saya.
Ya, saya cuma duduk di balik meja saya dan melihat anak-anak murid keluar masuk untuk ijin print dokumen, tapi di situ saya bisa mengenal mereka dan mengobrol dengan mereka.
Ya, saya memang hanya pembina OSIS, tapi dengan sedikit murid yang saya pimpin, Tuhan ajarkan untuk banyak menabur kebenaran dalam hidup mereka. Tidak peduli apakah taburan itu akan berbuah lebat, atau kah malah tidak diabaikan sama sekali.
Ya, saya tidak mendapat kehormatan untuk berdiri di depan kelas dan mengajarkan pengetahuan untuk anak-anak murid. Tapi lewat obrolan kecil dan sedikit keramahan yang tak terlalu berarti, Tuhan ingin saya setidaknya menjadi seorang teman bagi murid-murid.
Tuhan ingatkan saya satu hal, saya berada di sekolah bukan karena saya suka menjadi guru (jadi guru itu juga susah boo..)..Tapi karena saya suka anak-anak muda. Suka semangat mereka. Suka ide-ide dan kegilaan mereka dan saya berharap bisa sedikit memberikan sebagian hidup saya buat mereka. Supaya mereka bisa menjadi pribadi-pribadi yang masksimal.
Bahkan untuk memegang kerinduan saya itu tidak mudah. Di tengah-tengah banyaknya kata-kata negatif di sekeliling saya tentang anak-anak murid dan sikap-sikap mereka yang terkadang ‘nyeleneh’, hati saya pelan-pelan berubah. Label-label negatif mulai mempengaruhi sikap saya pada mereka. Mulai sulit percaya dan sering kali berasumsi negatif. Cuma karena bimbingan Roh Kudus saja saya bisa terus belajar melihat mereka seperti Tuhan melihat mereka.
Sabtu kemarin saya baru memberikan pelatihan untuk anggota OSIS angkatan baru. Stress berat, banyak ketakutan dan kekhawatiran. Takut orang tua mereka ga suka dengan apa yang saya lakukan, takut mereka tidak terima dengan didikan saya, takut gagal mendidik mereka. Belum lagi di tengah ketakutan itu banyak intimidasi di kanan kiri yang mengatakan apa yang saya lakukan akan percuma, anggota yang sekarang tidak punya kapasitas dsb-nya. Sempat frustasi dan ingin masuk ‘tempurung’. Berpikir untuk menyerah saja, tidak perlu mengadakan pelatihan. Tapi Tuhan tegur dan ingatkan untuk tidak terlalu banyak mendengar hal-hal yang menjatuhkan, tapi dengarkanlah hal yang baik, yang berkenan dan mulia.
Perkataan-perkataan itu memang ‘meremukkan tulang’ saya (sempat psikosomatis), tapi pengharapan pada Tuhan memang selalu memberi kekuatan. Yang bisa saya lakukan percaya sama Tuhan. Meneguhkan hati dan berharap apa pun yang saya tabur tidak sia-sia. Tugas saya memberikan pengertian dan kebenaran, selanjutnya adalah tanggung jawab setiap anak sendiri untuk memutuskan apa yang saya tabur akan mereka apakan. Tentu saja, saya masih perlu membimbing mereka untuk mereka bisa belajar dari kesalahan atau pun keberhasilan mereka.
Saya hanya bisa terus berharap mereka bisa menjadi yang terbaik dari diri mereka sendiri. Dengan setiap keunikan dan kekhasan mereka masing-masing. Apa yang saya lakukan tidak akan seberapa, apa yang akan mereka lakukanlah yang menentukan masa depan mereka sendiri. Bagian saya hari ini membimbing dan menabur sebanyak mungkin kebenaran dalam hidup mereka.
Susah? Susah banget. Terutama saat anak-anak yang kita bimbing adalah mereka yang tidak seperti kita harapkan. Benar-benar tidak mudah dan butuh kasih karunia dan keputusan untuk mempercayai mereka.
Biar saya menabur, Tuhan yang bentuk. Belajar menyerahkan mereka ke dalam tangan Tuhan. Menganggap mereka bukan anak-anak, tetapi partner saya untuk memberi yang terbaik pada sekolah.
God bless them.
NB: Buku Mengajar Untuk Mengubah Hidup (Howard G. Hendricks) benar-benar memberi banyak pencerahan dalam mengajar. Mengajar bukan saja tentang bicara di depan kelas, tetapi juga tentang keteladanan hidup. :D
Sambil cengengesan saya jawab, “ Psikologi.”
“ Loh kok, jadi sekertaris? Saya kirain Ms lulusan D3 gitu.”
“ Yah, begitulah. Tapi psikologi juga berguna buat jadi pembina OSIS, tauuu..” saya ngeles.
Sebelum saya bekerja di sekolah ini dan sebelum saya mengambil jurusan Psikologi di kuliah saya, saya telah memutuskan untuk menjadi seorang guru Bimbingan & Konseling. Selama saya kuliah dan sebelum saya bekerja pun saya sudah gembar gembor pada teman-teman saya kalau saya ingin menjadi guru Bimbingan & Konseling daripada menjadi seorang psikolog klinis atau HRD.
Sekarang saya benar-benar bekerja di sekolah, duduk di depan komputer dan mengerjakan hal-hal berbau administarsi, menjaga printer agar tidak ada anak-anak yang print dokumen semaunya, mengejar-ngejar guru untuk segera menyerahkan dokumen-dokumen yang harus dikumpulkan, menelepon orang tua murid saat ada murid yang harus menerima pendisiplinan setelah pulang sekolah.
Tiga bulan pertama bekerja, harga diri saya terkoyak (halah, padahal suruh siapa nerima kerjaan ini). Saya susah-susah kuliah cuma buat jadi penjaga printer. Cuma buat mengerjakan urusan administrasi. Malu…
Kalau teman tanya, “ Kerja dimana?”
“ Sekolah.”
“ Oh, guru ya.”
“ Bukan. Admin.”…
Rasanya tuh – orang boleh tanya saya kerja dimana, tapi jangan sebagai apanya…Bahkan waktu dosen pembimbing skripsi saya tanya saya kerja jadi apa, waktu dengar jawaban saya, ekspresinya ‘agak’ kaget. Mungkin dia mau bilang kalau saya seharusnya tidak bekerja seperti itu.
Saya iri pada teman-teman yang mendapatkan pekerjaan sebagai Guru BK. Saya iri pada teman-teman yang bekerja sesuai dengan jurusan mereka. Saya frustasi waktu guru lain bertanya, “ Jadi, kamu guru atau bukan Lasma?” …. Saya sendiri tidak tahu.
Tapi Tuhan ingin saya melihat dari sudut pandang yang berbeda. Menjadi guru tanpa label guru. Maksudnya, Tuhan pengen saya memiliki jiwa seorang guru meski pun saya tidak punya label guru di jidad saya.
Ya, saya cuma duduk di balik meja saya dan melihat anak-anak murid keluar masuk untuk ijin print dokumen, tapi di situ saya bisa mengenal mereka dan mengobrol dengan mereka.
Ya, saya memang hanya pembina OSIS, tapi dengan sedikit murid yang saya pimpin, Tuhan ajarkan untuk banyak menabur kebenaran dalam hidup mereka. Tidak peduli apakah taburan itu akan berbuah lebat, atau kah malah tidak diabaikan sama sekali.
Ya, saya tidak mendapat kehormatan untuk berdiri di depan kelas dan mengajarkan pengetahuan untuk anak-anak murid. Tapi lewat obrolan kecil dan sedikit keramahan yang tak terlalu berarti, Tuhan ingin saya setidaknya menjadi seorang teman bagi murid-murid.
Tuhan ingatkan saya satu hal, saya berada di sekolah bukan karena saya suka menjadi guru (jadi guru itu juga susah boo..)..Tapi karena saya suka anak-anak muda. Suka semangat mereka. Suka ide-ide dan kegilaan mereka dan saya berharap bisa sedikit memberikan sebagian hidup saya buat mereka. Supaya mereka bisa menjadi pribadi-pribadi yang masksimal.
Bahkan untuk memegang kerinduan saya itu tidak mudah. Di tengah-tengah banyaknya kata-kata negatif di sekeliling saya tentang anak-anak murid dan sikap-sikap mereka yang terkadang ‘nyeleneh’, hati saya pelan-pelan berubah. Label-label negatif mulai mempengaruhi sikap saya pada mereka. Mulai sulit percaya dan sering kali berasumsi negatif. Cuma karena bimbingan Roh Kudus saja saya bisa terus belajar melihat mereka seperti Tuhan melihat mereka.
Sabtu kemarin saya baru memberikan pelatihan untuk anggota OSIS angkatan baru. Stress berat, banyak ketakutan dan kekhawatiran. Takut orang tua mereka ga suka dengan apa yang saya lakukan, takut mereka tidak terima dengan didikan saya, takut gagal mendidik mereka. Belum lagi di tengah ketakutan itu banyak intimidasi di kanan kiri yang mengatakan apa yang saya lakukan akan percuma, anggota yang sekarang tidak punya kapasitas dsb-nya. Sempat frustasi dan ingin masuk ‘tempurung’. Berpikir untuk menyerah saja, tidak perlu mengadakan pelatihan. Tapi Tuhan tegur dan ingatkan untuk tidak terlalu banyak mendengar hal-hal yang menjatuhkan, tapi dengarkanlah hal yang baik, yang berkenan dan mulia.
Perkataan-perkataan itu memang ‘meremukkan tulang’ saya (sempat psikosomatis), tapi pengharapan pada Tuhan memang selalu memberi kekuatan. Yang bisa saya lakukan percaya sama Tuhan. Meneguhkan hati dan berharap apa pun yang saya tabur tidak sia-sia. Tugas saya memberikan pengertian dan kebenaran, selanjutnya adalah tanggung jawab setiap anak sendiri untuk memutuskan apa yang saya tabur akan mereka apakan. Tentu saja, saya masih perlu membimbing mereka untuk mereka bisa belajar dari kesalahan atau pun keberhasilan mereka.
Saya hanya bisa terus berharap mereka bisa menjadi yang terbaik dari diri mereka sendiri. Dengan setiap keunikan dan kekhasan mereka masing-masing. Apa yang saya lakukan tidak akan seberapa, apa yang akan mereka lakukanlah yang menentukan masa depan mereka sendiri. Bagian saya hari ini membimbing dan menabur sebanyak mungkin kebenaran dalam hidup mereka.
Susah? Susah banget. Terutama saat anak-anak yang kita bimbing adalah mereka yang tidak seperti kita harapkan. Benar-benar tidak mudah dan butuh kasih karunia dan keputusan untuk mempercayai mereka.
Biar saya menabur, Tuhan yang bentuk. Belajar menyerahkan mereka ke dalam tangan Tuhan. Menganggap mereka bukan anak-anak, tetapi partner saya untuk memberi yang terbaik pada sekolah.
God bless them.
NB: Buku Mengajar Untuk Mengubah Hidup (Howard G. Hendricks) benar-benar memberi banyak pencerahan dalam mengajar. Mengajar bukan saja tentang bicara di depan kelas, tetapi juga tentang keteladanan hidup. :D
4 Comments