Hari ini bisa ketemu dua malaikat kecil kesayangan saya, hehhehe. Nathan dan Luna...sooo love them. Ya, tapi hari ini bukan mau sharing tentang mereka. Malahan mau sharing sesuatu yang agak berat.
Jadi, beberapa hari ini saya 'makan roti' yang agak keras. Seperti ditampar bolak balik. Setelah sekian lama tidak menyediakan waktu secara khusus buat baca firman, saya mulai bertobat dan memulainya lagi di minggu ini. Demi membulatkan tekad, saya beli deh satu buku renungan harian.
Ternyata eh ternyata buku renungan harian ini tidak seperti kebanyakan buku renungan. Selain sebenarnya buku itu buat bulan November, ternyata renungannya membahas per kitab dan renungan tersebut sedang membahas kitab Ayub.
Ngomong-ngomong soal Ayub, biasanya kalau yang dibahas tentang Ayub pasti berhubungan dengan penderitaan dan rasa syukur walau sakiiitttt menghadapi cobaan. Memang sih renungan itu membahas tentang itu juga, tapi yang membuat saya tertampar bolak balik adalah mengenai dua sahabat Ayub.
Waktu baca ayatnya saya setuju dengan teguran 2 sahabat Ayub, Elifas & Bildad, kalau orang yang menderita mungkin sedang ditegur Tuhan karena melakukan dosa tertentu. Padahal tidak demikian dengan Ayub. Ayub menderita karena Tuhan sedang menguji imannya.
Penjelasan di buku renungan menampar saya bolak balik. Elfias menasehati Ayub, tapi cenderung menghakimi. Ia memastikan bahwa Ayub menderita karena dosa-dosanya sendiri. Ia yakin bahwa orang yang menderita pasti memiliki banyak dosa, padahal belum tentu seperti itu. Elfias menghakimi Ayub berdasarkan pengalaman dan pengertiannya sendiri. Elfias merasa yakin apa yang ia percaya itu benar, padahal tidak begitu. Nasehat Elfias itu malah menyakiti Ayub yang sedang sekarat dan menderita.
Begitu juga dengan Bildad, menurut Bildad penderitaan datang dari dosa. Bahkan dengan luar biasa ia memberikan perumpamaan ia memastikan bahwa Ayub telah bergantung pada hartanya sendiri dan bukan pada Allah. Karena itu, Ayub harus segera bertobat dan meminta kasih karunia dari Tuhan untuk menolongnya.
Seandainya kita ada di situasi itu dan melihat Elfias & Bildad menasehati Ayub dan bukan menghiburnya, mungkin kita akan berpikir yang sama. Kamu menderita karena kamu berdosa. Ya, mungkin saja sih, tapi dalam situasi Ayub tidak begitu. Yang lebih ngeri lagi Elfias dan Bildad berpikir bahwa mereka menyatakan kebenaran tanpa memikirkan perasaan sahabatnya.
Jujur saat membaca renungan itu saya seperti bercermin. Sering kali saya menemukan diri saya berada di posisi Elfias dan Bildad. Seorang teman datang bercerita tentang masalahnya dan saya malah berpikir dosa apa yang sedang dia perbuat atau pemikiran salah apa yang ada dipikirannya.
" Kamu salah.. Harusnya begini.. Harusnya begitu..." Potongan kalimat itu sering keluar dari mulut saya. Bukannya menghibur dan menguatkan, saya malah lebih sering menunjuk dan berusaha menunjukkan kesalahan mereka. Ya, saya malah ingin mereka melakukan hal yang sama seperti saya. Betapa sombongnya saya saat itu.
Nasihat-nasihat saya bukan lagi berdasarkan belas kasihan Tuhan, tapi berdasarkan idealisme benar salah dan aturan-aturan yang saya takarkan pada diri saya. Saya benar-benar merasa bodoh setelah membaca renungan in karena saya salah satu diantara mereka.
Tentu saja menegur dan mengingatkan tidak salah, tapi teguran tanpa kasih biasanya hanya akan menjadi pisau tajam yang menusuk dan meninggalkan luka. Teguran seperti itu lebih didasarkan pada "Kamu salah! Seharusnya kamu seperti ini!". Akan berbeda rasanya jika teguran dilakukan seperti ini, " Apa alasan kamu melakukan itu? Adakah kamu memikirkan Tuhan saat melakukannya?...dst..."
Jadi mau belajar lagi untuk mendengarkan orang lain. Tidak cuma mendengarkan orang lain, tapi juga mendengarkan apa kata Tuhan untuk orang tersebut.
Allah itu kasih, apa pun Ia lakukan selalu berdasarkan kasih. Begitu pula kita...
Baca kitan Ayub aja ya biar lebih jelasnya :D.
GBU.
Jadi, beberapa hari ini saya 'makan roti' yang agak keras. Seperti ditampar bolak balik. Setelah sekian lama tidak menyediakan waktu secara khusus buat baca firman, saya mulai bertobat dan memulainya lagi di minggu ini. Demi membulatkan tekad, saya beli deh satu buku renungan harian.
Ternyata eh ternyata buku renungan harian ini tidak seperti kebanyakan buku renungan. Selain sebenarnya buku itu buat bulan November, ternyata renungannya membahas per kitab dan renungan tersebut sedang membahas kitab Ayub.
Ngomong-ngomong soal Ayub, biasanya kalau yang dibahas tentang Ayub pasti berhubungan dengan penderitaan dan rasa syukur walau sakiiitttt menghadapi cobaan. Memang sih renungan itu membahas tentang itu juga, tapi yang membuat saya tertampar bolak balik adalah mengenai dua sahabat Ayub.
Waktu baca ayatnya saya setuju dengan teguran 2 sahabat Ayub, Elifas & Bildad, kalau orang yang menderita mungkin sedang ditegur Tuhan karena melakukan dosa tertentu. Padahal tidak demikian dengan Ayub. Ayub menderita karena Tuhan sedang menguji imannya.
Penjelasan di buku renungan menampar saya bolak balik. Elfias menasehati Ayub, tapi cenderung menghakimi. Ia memastikan bahwa Ayub menderita karena dosa-dosanya sendiri. Ia yakin bahwa orang yang menderita pasti memiliki banyak dosa, padahal belum tentu seperti itu. Elfias menghakimi Ayub berdasarkan pengalaman dan pengertiannya sendiri. Elfias merasa yakin apa yang ia percaya itu benar, padahal tidak begitu. Nasehat Elfias itu malah menyakiti Ayub yang sedang sekarat dan menderita.
Begitu juga dengan Bildad, menurut Bildad penderitaan datang dari dosa. Bahkan dengan luar biasa ia memberikan perumpamaan ia memastikan bahwa Ayub telah bergantung pada hartanya sendiri dan bukan pada Allah. Karena itu, Ayub harus segera bertobat dan meminta kasih karunia dari Tuhan untuk menolongnya.
Seandainya kita ada di situasi itu dan melihat Elfias & Bildad menasehati Ayub dan bukan menghiburnya, mungkin kita akan berpikir yang sama. Kamu menderita karena kamu berdosa. Ya, mungkin saja sih, tapi dalam situasi Ayub tidak begitu. Yang lebih ngeri lagi Elfias dan Bildad berpikir bahwa mereka menyatakan kebenaran tanpa memikirkan perasaan sahabatnya.
Jujur saat membaca renungan itu saya seperti bercermin. Sering kali saya menemukan diri saya berada di posisi Elfias dan Bildad. Seorang teman datang bercerita tentang masalahnya dan saya malah berpikir dosa apa yang sedang dia perbuat atau pemikiran salah apa yang ada dipikirannya.
" Kamu salah.. Harusnya begini.. Harusnya begitu..." Potongan kalimat itu sering keluar dari mulut saya. Bukannya menghibur dan menguatkan, saya malah lebih sering menunjuk dan berusaha menunjukkan kesalahan mereka. Ya, saya malah ingin mereka melakukan hal yang sama seperti saya. Betapa sombongnya saya saat itu.
Nasihat-nasihat saya bukan lagi berdasarkan belas kasihan Tuhan, tapi berdasarkan idealisme benar salah dan aturan-aturan yang saya takarkan pada diri saya. Saya benar-benar merasa bodoh setelah membaca renungan in karena saya salah satu diantara mereka.
Tentu saja menegur dan mengingatkan tidak salah, tapi teguran tanpa kasih biasanya hanya akan menjadi pisau tajam yang menusuk dan meninggalkan luka. Teguran seperti itu lebih didasarkan pada "Kamu salah! Seharusnya kamu seperti ini!". Akan berbeda rasanya jika teguran dilakukan seperti ini, " Apa alasan kamu melakukan itu? Adakah kamu memikirkan Tuhan saat melakukannya?...dst..."
Jadi mau belajar lagi untuk mendengarkan orang lain. Tidak cuma mendengarkan orang lain, tapi juga mendengarkan apa kata Tuhan untuk orang tersebut.
Allah itu kasih, apa pun Ia lakukan selalu berdasarkan kasih. Begitu pula kita...
Baca kitan Ayub aja ya biar lebih jelasnya :D.
GBU.
0 Comments