Batu Karang




Mataku mengerjap menerima silaunya sinar matahari pagi yang menyombongkan dirinya pada dunia. Langit begitu cerah dan biru. Sama seperti hari-hari sebelumnya, tapi kali ini yang kurasakan berbeda.

Tidak. Aku pernah merasakannya. Ah, tidak ini lebih buruk. Ini lebih buruk dari rasa sebelum aku bertemu denganmu, Guru. Rasa ini lebih pahit dan menyesakkan.

Aku menarik napasku dalam dan memandang sahabat-sahabatku yang tertidur lelap. Sudah dua hari ini kami bersembunyi di sini. Kami semua ketakutan dan putus asa. Rasanya kami seperti kelinci yang tidak berdaya. Tersesat dan tak tahu arah.


Dua hari ini kami berganti-gantian untuk berjaga. Takut-takut kalau saja para tentara Romawi datang menggeledah rumah ini. Asal kami waspada, mungkin kami bisa lari dari mereka dan menyelamatkan diri.

Ah, Guru!! Lihat kami! Kami begitu pengecut dan tidak berdaya!! Bahkan kami tidak bisa melakukan apa-apa saat Kau difitnah, disiksai, dan dibunuh!

Aku mengatupkan rahangku mengingat apa yang telah kulakukan dua hari lalu saat mereka menangkap Guru. Aku tidak berani mengingatnyaa.. Setiap kali mengingat apa yang telah kulakukan, aku ingin mati rasanya.

Cip..cip…cip..

Tiba-tiba seekor burung pipit hinggap di bingkau jendela. Ia melompat-lompat mencari-cari sesuatu dan tak berapa lama kemudian ia kembali terbang ke langit. Langit yang biru dan tenang..

Langit tidak pernah setenang ini.. Mengapa aku merasa lebih tenang dan nyaman dengan langit yang gelap dan berangin?

Aku pernah melihat langit yang sedang marah. Gelap. Seolah ingin menelan semua orang yang memandangnya. Iya, di malam itu… Di malam saat aku dan yang lain terombang-ambing di lautan, sementara Kau, Guru, tidur dengan lelap. Aku tidak ingat apakah Kau mendengkur atau tidak, tapi yang pasti aku kesal. Kesal karena Kau tidak melakukan apa pun. Kau malah tidur dan tidak membantu kami sama sekali.

Kau membuatku terkejut saat kau bangun dan menegur kami. "Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?"

Bagiku pertanyaanmu terdengar aneh. Siapa pun akan merasa takut jika berada di tengah-tengah angin ribut, bagaimana Kau bisa bertanya seperti itu pada kami? Kami ini manusia biasa. Ketakutan kami sangat wajar.

Ah, tapi pertanyaan itu berganti dengan pertanyaan lain. Pertanyaan yang akhirnya aku menemukan jawabannya.

Kau hanya menghardik angin itu dan angin pun menjadi reda dan tenang. Tidak ada lagi yang perlu kami takutkan. Guru, saat itu aku tidak mengerti yang kurasakan. Haruskan aku takut pada-Mu ataukah aku kagum pada-Mu? Perasaan itu bercampur aduk di hatiku. Siapakah Kau ini? Hanya itu yang terus aku pertanyakan.

Guru, di malam yang lain, saat perahu kita diombang ambing gelombang, aku ingat malam itu. Kau menyusul kami dengan berjalan di atas air. Aku dan yang lain berpikir kalau Kau hantu, sampai aku memberanikan diriku untuk membuktikan bahwa itu memang diri-Mu.

Iya, aku ingat saat-saat itu… Sebelum aku melangkah, aku hanya yakin kalau itu memang Kau, pastilah aku akan sanggup berjalan menghampiri-Mu. Tidak ada yang mustahil yang dapat Kau lakukan.

Guru, Aku masih bisa merasakan dinginnya air di bawah kakiku. Aku berjalan layaknya di atas tanah. Aku tidak goyah dan tidak bimbang. Beberapa langkah kulewati, sampai aku memalingkan wajahku darimu dan melihat ke bawah kakiku. Aku menyadari bahwa aku benar-benar berada di atas air. Bagaimana kalau aku jatuh dan tenggelam, pikirku saat itu dan ternyata aku benar-benar tenggelam.

Aku malu sekali pada-Mu. Aku malu karena aku meragukan-Mu. Kepercayaanku hanya sementara. Tapi Kau tidak marah dan Kau juga tidak menertawakanku. Saat itu aku baru mengerti, Kau benar-benar anak Allah. Engkaulah Mesias yang dijanjikan itu.

Biar begitu Kau begitu baik. Kau tidak pernah menghina kami yang rendah ini. Kau tidak pernah menyebutkan daftar dosa-dosa kami. Bahkan saat orang-orang Farisi itu mempertanyakan perbuatan kami yang sangat sepele, Kau tetap memandang kami dengan kasih. Kau tidak pernah malu dengan keberadaan kami.

Orang-orang itu pasti bisa merasakannya juga bahwa Kau mengasihi mereka. Ya, aku selalu bisa melihat bagaimana cara Kau memandang mereka. Orang-orang miskin, orang-orang cacat, pemungut cukai, para pelacur… Ah, sebenarnya Kau seharusnya tidak ada ditengah-tengah mereka, mereka orang-orang hina, sementara Kau oranng yang luar biasa. Tapi Kau lebih memilih bersama mereka. Kau tampak bahagia dapat duduk ditengah-tengah mereka. Kau tidak pernah membicarakan dosa mereka. Perkataan-Mu, pandangan mata-Mu, dan tangan-Mu yang menyentuh mereka.. Mereka pasti merasakan apa yang aku rasakan. Aku merasa berharga dan dikasihi. Kami menjadi diri kami sendiri tanpa perlu merasa dihakimi.. Aku belum pernah merasakan kasih seperti ini, Guru.

Guru…

Tidakkah aku lebih pantas masuk neraka?? Tidakkah aku lebih pantas dibakar di tungku pemanggangan dan setan memotong-motong lidahku?? Bagiku, apa yang telah kulakukan pada-Mu sungguh tak terampuni..

Di malam perjamuan itu, kukatakan kepada-Mu bahwa sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau. Aku begitu bersungguh-sungguh mengatakannya, tapi apa yang telah kuperbuat??!!!

Aku ingin bersama-Mu, tapi aku takut. Aku takut mereka juga akan menangkap dan membawaku. Aku benci dengan apa yang mereka lakukan pada-Mu. Mereka memfitnah-Mu!! Mereka mengadili-Mu yang tidak bersalah!

Tapi Guru…Apa bedanya aku dengan mereka. Di saat-saat itu aku sama sekali tidak melakukan apa pun. Aku malah bersembunyi di antara kerumunan. Lebih dari itu… Aku menyangkal-Mu. Aku menyangkal-Mu… Tiga kali, tepat seperti apa yang telah Kau katakana di malam perjamuan itu…

Aku menarik napasku dengan susah payah. Kurasakan pipiku basah. Aku berpaling pada teman-teman dan mereka masih tertidur lelap.

Terkadang aku ingin lari dari tempat ini dan kembali menjadi nelayan.. Aku tidak pantas…

Iya, tapi mengapa Kau menganggap aku pantas?? Menjadi batu karang??

Petrus.. Nama itu Kau berikan padaku. Nama yang begitu kuat dan kokoh. Mungkinkah Kau membuat kesalahan??

Lihatlah aku, Guru!! Aku pengecut!! Aku mengkhianati-Mu!! Bagaimana bisa aku menjadi batu karang atas jemaat-Mu??!! Penjala manusia??!! Bagaimana aku bisa menjala manusia?? Aku ini bermulut besar! Bahkan terkadang aku lupa apa yang telah aku katakan! Pantaskah aku, Guru?!! Pantaskah aku??!

Bagaimana aku memperbaiki ini semua?

Mungkinkah Kau hidup kembali? Mungkinkah Kau akan bangkit kembali sama seperti yang pernah Kau katakan? Guru, aku sangat berharap Kau hidup kembali, tapi aku pun takut kecewa. Aku takut semua itu hanya khayalan belaka.

Mungkinkah Kau dapat hidup kembali?? Kapan?? Bagaimana??

Lazarus pernah bangkit dari kematian, tapi waktu itu ada Kau yang membuat mukjizat.. Sekarang.. Siapa yang akan melakukannya?? Kami di sini hanya orang-orang bodoh.

Guru… Aku ingin bertemu dengan-Mu… Maafkan aku, Guru. Maafkan aku..

BRAAAAKKKK!!

Aku terlonjak karena tiba-tiba pintu dibanting keras. Teman-teman langsung terbangun dan saat melihat Maria bersama beberapa wanita lainnya berdiri di pintu, mereka langsung menggerutu dan hendak kembali tidur.

“ Ia…Ia..Ia… Ia hidup..” Maria bicara dengan suara yang sangat pelan dan gemetar. Wajahnya tampak … aku bingung menjelaskannya. Terkejut?? Gembira?? Tapi dia menangis dan wajahnya memerah.

“ Kau ini bicara apa, Maria?” tanyaku, bingung.

“ Tuhan sudah bangkit!!” saudara perempuan yang ada di belakang Maria langsung menyambar.

Aku terdiam. Apakah aku tidak salah dengar??

Aku mendekati Maria dan memandangnya dengan tajam. Maria tidak menjawab. Ia hanya menangis dan menangis. Tubuhnya gemetar seperti tergoncang, tapi matanya berbinar-binar, ada senyuman dalam tangisannya. Lalu dengan susah payah ia mengangguk. Ia mengangguk membenarkan perkataan saudara perempuan tadi.

Bangkit… Dia bangkit??!! Guru hidup!! Mungkinkahhh..??!!

Aku berjalan dengan cepat menuruni anak tangga dan pergi menuju kubur. Di belakangku beberapa saudara yang lain mengikuti. Tentara romawi, orang Farisi, aku tidak bisa mengingat mereka lagi. Aku hanya ingin bertemu Dia. Aku ingin bertemu Dia!

Langkahku yang cepat terasa begitu lambat. Aku pun berlari secepat mungkin dan secepat mungkin.. Dan di sana aku melihat, batu itu sudah terguling. Batu dimana Guru dimakamkan.

Bergegas aku mendekat. Kurasakan jantungku berdetak cepat. Lututku lemas dan tanganku bergetar. Mu..Mungkinkah Dia ada di dalam?? Mungkinkah Dia sedang menantiku??

Aku melongok ke dalam dan melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya ada kain kafan yang tergeletak di atas pembaringan. Aku mendekati kain kafan itu dan mengambilnya. Ada noda darah… Ini benar kain kafan Guru.

Dimana mayat-Nya??!! Berarti Guru benar-benar bangkitt!!

Kulihat sekelilingku, tidak ada tanda-tanda bahwa Ia ada di kubur ini. Dimana Dia?? Dimana Dia?? Dimana Kau, Guru?? Guru, aku ingin bertemu dengan-Mu!!

Aku ingin melihat wajah-Mu dan mendengar suara-Mu. Guru!!


“…… Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.”

Matius 16:18


10 Comments