Aku mengusap air mataku dengan gemetar. Rasanya aku tidak ingin berbalik dan berhadapan dengan Mama yang pasti akan bertanya tentang air mataku ini. Bagaimana aku akan menceritakannya? Aku tidak mau membuat Mama sedih!
“ Dania? Kamu ngga kenapa-napa ‘kan?” Bergegas aku berbalik dan tersenyum memandang Mama setelah aku merasa lebih tenang. Beliau memandangku dan mengerutkan dahinya. Sepertinya mataku membengkak. Aku pasti ketahuan habis menangis.
“ Sayang, kamu kenapa? Kenapa menangis?” Mama mengusap wajahku dengan lembut. Wajahnya tampak khawatir sekali. Aku tersenyum padanya untuk meyakinkannya kalau aku baik-baik saja.
“ Aku tidak apa-apa, Ma. Hanya saja tadi aku bertengkar dengan Fara.” Aku tidak berbohong. Tetapi bukan pertengkaran aku dengan Fara yang membuat aku menangis.
“ Sayang, kenapa kalian bertengkar? Bukankah kalian sahabat karib? Ayo ceritakan pada Mama supaya kau merasa lebih tenang.” Mama meraih tas ranselku dan membimbingku ke arah ruang makan. Ternyata Mama sudah masak makan siang. Di atas meja sudah tersedia nasi hangat yang masih mengepul, sepiring ayam kecap, semangkuk besar sayur asam dan beberapa buah segar.
Aku duduk di kursi yang terdekat dan Mama duduk di seberang. Ia tersenyum dan mengambil piringku. Ia menyendokkan 2 sendok nasi ke atas piringku dan memberikannya kembali padaku. Ia tampak tenang seperti biasanya. Sekalipun ia tersenyum dadaku tetap merasa sesak setiap kali mengingat peristiwa tadi siang saat di mall. Aku tidak tahu apakah harus menceritakannya pada Mama atau tidak. Aku takut sekali…
Selama makan siang kami mengobrol banyak. Aku menceritakan tentang pertengkaranku dengan Fara, pameran photographi yang diadakan kampus, dan rencanaku untuk membuka usaha sendiri setelah lulus kuliah. Beliau mendengarkan dengan setia walau beberapa kali aku merasa kalau ia tidak mendengarkanku.
Sampai malam tiba aku tidak menceritakan peristiwa di mall itu pada Mama. Aku belum siap dan aku merasa takut melihat Mama akan menangis. Dia selalu tersenyum padaku dan aku tidak ingin melihat ia menangis.
Mungkin aku akan menceritakannya besok. Mungkin….
***
Dia membukakan pintu bagi wanita yang ada di mobil bersamanya. Wajahnya tampak begitu cerah saat memandang wanita itu. Setelah wanita itu turun, ia menggandengnya dengan sangat mesra. Aku rasanya ingin keluar dari persembunyianku dan meneriaki pria itu. Dia pantas mati!
Mereka masuk ke dalam restauran. Aku ingin masuk ke dalam tapi takut ketahuan. Lebih baik aku menunggu di luar dan mungkin meninggalkan sesuatu yang bisa menjadi kenang-kenangan bagi pria itu.
Aku merogoh ranselku dan mencari-cari benda yang tadi kubawa untuk meninggalkan kenang-kenangan di mobil ‘Pria Bodoh’ itu. Kukeluarkan pilok berwarna putih dan mengocoknya dengan kencang. Setelah merasa siap, aku melangkah mendekati mobil sedan BMW berwarna merah milik pria itu. Kulihat sekeliling untuk meyakinkan kalau tidak akan ada yang melihatku.
Kukocok pilok yang kupegang sekali lagi dan perlahan kubuat tulisan, gambar dan coretan tidak beraturan.
“ Mobilmu kurang ramai Tuan. Biar aku yang menghiasnya dan…”
“ HEIII..!!! APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN?!!”
Aku terlonjak mendengar suara seruan menggelegar dari arah restauran. Aku menoleh dan melihat pria itu berdiri sambil menuding padaku. Ia melotot dan tampak sangat ngeri saat melihat mobilnya yang sudah kacau balau.
Kakiku mulai bergerak mundur, mengambil ancang-ancang untuk lari. Tapi pria itu lebih sigap. Tepat saat aku berbalik untuk kabur ia menarik ranselku dan menarik kedua tanganku ke belakang.
“ AU!! AU!! Lepaskan aku!!!”
“ Apa yang kau lakukan pada mobilku?! Kau harus mengganti rugi!!”
“ Tidak mau!! Kau pantas mendapatkannya!!”
Pria itu melonggarkan pegangannya dan memaksaku untuk berbalik menghadapnya. Ia baru membuka mulutnya untuk memakiku tapi tiba-tiba wajahnya tampak sangat terkejut.
“ Tania?” panggilnya pelan. Ia tampak tidak percaya dan dari matanya tersirat sinar kerinduan. Tapi kemudian ia tersadar dan memandangku dengan seksama.
“ Siapa kau? Kenapa kau mirip sekali dengan Tania?” tanyanya penuh selidik. Ia masih memegang kerah bajuku dengan keras. Aku menghempaskan tangannya dengan kuat suapaya aku bebas, tapi percuma. Dia sangat kuat.
“ Memangnya kenapa kalau aku mirip Tania? “
“ Kau siapanya Tania?”
“ Lepaskan aku!” Aku mendorongnya dengan keras dan akhirnya ia melepaskan tangannya. Aku tidak mau dia tahu identitasku. Aku baru akan kabur lagi, tapi dia menarik ranselku lagi dan memegang lenganku dengan keras.
“ Kalau kau tidak bicara, aku akan melaporkanmu pada polisi.”
Aku terdiam mendengar ancamannya. Kalau ia melaporkanku pada polisi, Mama akan mengetahui semuanya dan beliau akan lebih sedih lagi karena aku telah bertindak gila.
“ Ayo bicara. Kau ini siapa?!” Pria itu mengguncang tubuhku agar aku bicara. Dia benar-benar kasar.
“ Aku bukan siapa-siapa!”
“ Bohong! Kalau kau bukan siapa-siapa tidak mungkin kamu merusak mobilku!”
“ Aku rasa orang sombong sepertimu pantas mendapatkannya!”
“ Punya hubungan apa kau dengan Tania? Apa kau putrinya? Dengan siapa dia menikah?! Wanita jalang itu benar-benar punya putri yang sangat mirip dengannya. Bermulut pedas dan kurang ajar.”
Dia brengsek!! Berani-beraninya dia menghina Mama!!
DUAG!!
“ AUUUUU!!! Hei, kau…!! Kakiku!!”
Aku menendang tulang kering pria itu dengan keras dan ia melepaskan genggaman tangannya. Tanpa buang-buang waktu lagi aku langsung kabur. Dia pantas mendapatkannya!!
Lihat saja! Aku akan lebih menerornya. Tidak peduli aku akan dipenjara atau tidak! Dia membuat hidupku dan Mama hancur!
Dia tidak pantas menjadi seorang pria! Pria bodoh! Kasar! Sombong! Lebih baik dia ke neraka!!!
***
Aku baru pulang ke rumah jam 7 malam. Setelah menghancurkan mobil pria itu, aku pergi ke rumah Fara untuk menceritakan semuanya. Tapi dia malah mengataiku gila dan nekat. Dia benar-benar tidak empati. Kami bertengkar lagi dan aku meninggalkan rumahnya dengan meninggalkan bekas tonjokkan di wajahnya. Dia sudah biasa mengalaminya jadi aku tidak terlalu merasa bersalah.
Langkahku begitu lemah saat berjalan menuju rumah. Rasanya aku ingin membuang beban dipunggungku. Aku ingin meledak!!
Aku masih terus melamun sampai aku berdiri di depan rumah dan melihat pria itu berbicara dengan Mama yang menangis tersedu-sedu. Pria itu tampak sangat marah sekali dan sepertinya memaki dengan keras. Cepat-cepat aku masuk dan mendorong pria itu dengan keras agar menjauh dari Mama.
“ Apa yang kau lakukan pada Mama?! Pergi!” Dia memicingkan matanya penuh amarah. Ia meraih lenganku dan memegangnya dengan keras.
“ Katakan siapa ayahmu! Katakana siapa dia?! Aku tidak percaya dia merebut Tania disaat aku tidak ada. Dan kenapa kau mau dengannya?!” Pria itu memandang pada Mama dengan tidak percaya. Mama hanya bisa menangis tersedu-sedu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia seperti tidak mampu bicara.
“ Jangan membentak Mama!!”
“ Diam kau! Aku tidak suka dengan kalian! Ibumu ini wanita murahan dan ayahmu tukang rebut tunangan orang lain!”
PLAKKKKK!!!
Aku terdiam merasakan perih di tanganku. Rasanya kata-katanya membuat dadaku sesak. Pria ini memang bodoh. Aku mendekatinya dan memukul dadanya keras dan berkali-kali. Air mataku terus mengalir meledakkan rasa amarah, kesal, dan rinduku yang kutahan sejak aku menyadari kalau pria ini tidak akan pernah datang untuk menemuiku.
“ Kenapa kau menamparku? Dasar anak tidak tahu…”
“ Kau itu bodoh dan tidak tahu apa-apa!”
“ Beraninya….”
“ Lebih baik kau mati saja!”
“ Dania! Jaga kata-katamu!” Aku terdiam mendengar bentakkan Mama. Ia melotot dengan mata yang masih basah. Ia mendekat dan menarik tangan pria itu agar melepaskanku.
“ Kenapa kau beri nama dia Dania?” Tanya pria itu dengan lebih tenang. Wajahnya menyiratkan ketakutan dengan apa yang dia pikirkan.
“ Seharusnya kau sudah tahu…Waktu kau sekolah ke luar negeri….Papa dan Mama ingin menikahkanku dengan pria lain karena aku mengandung. Aku tidak bisa terima karena dia anakmu. Aku kabur dari rumah. Saat aku mendengar kau sudah pulang, aku pergi ke rumahmu…Tapi saat itu kau ternyata sedang pergi berbulan madu…Aku putus asa…”
Aku memandang Mama tidak percaya. Jadi, itulah jalan cerita yang sebenarnya. Mama tidak pernah menceritakan seluruh ceritanya. Dia hanya katakan kalau dia mencintai Papa dan Papa mencintaiku. Tapi kenapa? Kenapa Mama tidak menikah dengan pria lain saja supaya ia tidak perlu hidup susah dengan merawatku sendirian?
“ Mama kenapa tidak menikah..?”
“ Saat itu yang ada dipikiran Mama hanya satu, kau anak Dania Jaya. Bukan yang lain. Mama tidak mau mengkhianati Papamu. Mama tidak mau kalau sampai dia pulang dan melihat Mama sudah menikah dengan orang lain…”
Aku terdiam melihat Mama tampak begitu pahit pada masa lalunya. Ia menangis lagi tapi kali ini tidak mengeluarkan suara. Hanya goncangan bahunya yang menunjukkan kalau ia begitu merasa sakit. Aku menoleh pada pria itu, yang terdiam dan tampak sangat terkejut dengan cerita Mama.
“ Tapi akhirnya Mama yang dikhianati ‘kan Ma?” bisikku dengan pedas. Pria itu menoleh padaku dan mengatupkan rahangnya. Ada luka besar yang menganga dan belum sembuh sama sekali terlihat jelas dimatanya.
“ Aku pikir…Aku pikir kau mengkhianatiku dan pergi dengan pria lain. Orang tuaku mengatakan begitu.”
Hening. Tidak ada yang bicara. Aku hanya bisa mendengar suara angin yang berhembus pelan. Di depanku, pria yang selama aku masih kecil terus kupandangi fotonya, berdiri lemas dan penuh penyesalan. Lama aku melihatnya dan semakin lama aku melihatnya napasku semakin sesak.
Perlahan aku mendekati Mama dan menuntunnya untuk masuk. Tak kupedulikan pria bodoh yang seharusnya kupanggil Papa itu. Aku tidak pernah tahu apakah aku bisa mengampuninya atau tidak. Rasa sakit yang kupunya sejak aku kecil terlalu pahit kurasakan. Aku harap dia tidak pernah muncul lagi dihadapanku. Walau hanya sekali.
***
Dia tersenyum lebar dan memandangku dengan sangat lembut. Dia begitu bersemangat waktu aku mengajaknya bertemu. Baiklah, ternyata aku benar-benar ingin menemuinya dan mengungkapkan perasaanku. Aku sangat ingin bicara dengannya. Aku ingin menemuinya setiap hari.
Aku menelan ludahku merasakan gumpalan besar di rongga dadaku. Rasanya aku ingin mendekatinya dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya dan ingin dia tetap bersamaku. Aku ingin dia meninggalkan keluarganya dan tinggal bersama aku dan Mama. Tapi pikiran itu terlalu egois.
“ Ada yang kau pikirkan?” Tanya pria itu dengan lembut. Aku memalingkan wajahku dan memandang ke langit sore yang berwarna kemerahan.
“ Aku teringat mimpi yang sering muncul waktu aku kecil.”
“ Mimpi apa?”
“ Aku bermimpi kita sedang berjalan-jalan di taman dekat rumah. Kau menggandeng tanganku dan terus memanggil namaku. Rasanya aku senang sekali. Benar-benar senang. Tapi tiba-tiba sekelilingku gelap dan kau menghilang. Dalam sekejap rasa senangku berubah menjadi ketakutan yang luar biasa. Aku terus memanggilmu tapi kau tidak ada dimana-mana. Sampai aku terbangun dan mencarimu, kau tetap tidak ada dimana-mana…Ra..rasanya sakit sekali.” Aku menelan ludahku untuk menahan tangisku, tapi bendungan air mataku malah meleleh. Emosi yang kutahan sejak kecil terdorong keluar dan memaksaku untuk menangis. Aku menangis sejadi-jadinya merasakan tusukan tajam di ulu hatiku. Aku menangis sampai puas dan terisak-isak seperti karena selama ini aku terus berpura-pura kuat. Saat tangisku mereda dan hanya tertinggal isakkan pelan dan bisikan amarahku, dia menggeser duduknya di dekatku. Ia merangkulku dan kemudian memelukku dengan sangat erat.
“ Maafkan, Papa.” Bisiknya pelan tetapi cukup untuk membuatku kembali menangis tersedu-sedu. Aku menenggelamkan wajahku di dadanya dan membasahi bajunya dengan air mataku.
Ia mengecup keningku pelan dan memelukku lagi tetapi kali ini lebih erat dan hangat. Tangisku perlahan mereda dan aku mulai merasakan kehangatan didadaku yang membuatku ingin tertawa.
Aku tahu dia tidak mengatakan kalau dia mencintaiku, tapi hari ini aku merasa sangat dicintai. Dicintai oleh orang yang sangat aku rindukan. Tidak apa dia tidak pernah muncul saat aku terbangun dari mimpi burukku. Tidak apa kalau ia tidak pernah bisa lagi bersatu dengan Mama. Tidak apa kalau aku tidak menjadi putri tunggalnya. Asalkan dia mencintaiku dan mengakui kalau aku adalah anaknya. Asalkan dia memelukku dan memandangku dengan tatapan hangatnya, aku sudah puas.
“ Papa…Aku sayang Papa..” Aku tersenyum bahagia dan menyandarkan kepalaku ke dadanya dengan perasaan penuh kehangatan. Tak kupedulikan suara isakan tangis Papa yang disertai dengan tawa. Karena aku tahu itu tandanya kalau ia pun bahagia. Kebahagiaan ini lebih dari yang waktu kecil aku bayangkan. Ternyata aku punya seorang Papa.
Sungguh Papa, aku mencintaimu.
***
2 Comments