Dia melambaikan tangannya dengan
kuat dari arah ujung jalan. Seperti seorang anak kecil yang mengejar permen ia
menghampiriku. Senyumnya yang lebar dengan gingsul menghiasi giginya
mengingatkanku pada Martin. Mereka benar-benar mirip.
“ Maaf terlambat. Gua harus nganterin bokap dulu
tadi.” Dengan tersengal-sengal ia meraih tasku. Aku tersenyum padanya dan ia
balas tersenyum padaku. Ia berdiri di hadapanku dengan mata yang tak lepas
manatapku.
“
Lo udah gede ya? Gua kira masih cebol-cebol aja. Hahahaha..” Markus tertawa
terbahak mendengar leluconnya sendiri. Aku sendiri tertawa bukan karena
mendengar leluconnya tapi karena mendengar suara tawanya yang tidak berubah
sama sekali.
“
Gimana kabar Paman?” tanyaku saat kami sudah ada di dalam taksi. Ia duduk
disampingku dan nafasnya masih tersengal. Beberapa kali ia menarik napas dalam
agar bisa bernapas dengan biasa lagi.
“
Hahaha…Kualat loh, ngatain orangtua.”
“
Ah, emang kenyataannya kok.”
Aku
tersenyum mendengar jawaban Markus. Setelah itu aku terdiam dan hanya memandang keluar mobil. Jalanan
tampak sangat ramai dan hampir macet. Kami melewati beberapa pertokoan dan
salah satu toko menjual peralatan berenang. Aku terpaku memandang toko itu dan mendadak
dadaku terasa ngilu. Perutku sakit dan tenggorokanku seperti tersumbat.
Aku
menoleh pada Markus dan dia sedang menatapku dengan tatapan sedih. Saat
menyadari kalau aku membalas tatapannya ia terbangun dari lamunan dan kembali
tersenyum. Ia bisa tersenyum tapi matanya bicara banyak padaku. Dia menyimpan
rasa pahit karena kejadian waktu itu.
Kembali
aku berpaling ke jendela agar Markus tidak melihat ekspresi wajahku. Aku
menelan ludahku untuk menahan gumpalan besar yang menonjok tenggorokanku karena
memaksa keluar. Kutarik napas dalam-dalam berharap dadaku bisa merasa lebih
lega.
Aku
tidak mau membahasnya. Kalau aku membicarakannya Markus akan terluka. Begitu
pula aku. Jadi, lebih baik aku tidak membahasnya.
***
“
Aku ngga mau nemenin kamu ke pantai.” Aku dan Paman saling pandang mendengar
reaksi Markus yang seperti anak-anak. Ia tampak sangat kesal saat aku
mengatakan ingin ke pantai dan ia langsung menolak waktu aku memintanya.
“
Kenapa ngga mau? Kasian Karen udah jauh-jauh datang ke sini tapi ngga liat
pantai. Tamu ‘kan harus dilayani dengan baik.” Bujuk Paman sambil mengambil
sepotong brownies lagi. Markus menatap Paman dari balik alisnya dan mendesis
karena gemas mendengar kata-kata Paman.
“
Kalau itu Markus juga tahu! Kemana aja Markus pasti anterin Karen tapi kalau ke
pantai, ngga mau!”
“
Memang kenapa? Apa karena kejadian waktu itu?” Markus tidak menjawab pertanyaan
Paman. Ia hanya bisa berpaling ke arah lain dan mengatupkan rahangnya menahan
amarah. Sekilas ia melirik padaku dan aku hanya bisa bergidik dengan tatapannya
yang seolah menuduhku. Gara-gara aku?
“
Pokoknya aku ngga mau ke pantai! Kamu juga ‘kan tahu kalau Martin meninggal di
sana!” Setelah mencurahkan amarahnya pada Karen, Markus bangkit berdiri dan
meninggalkan meja makan dengan gerutuan yang membuat kuping Karen panas. ‘Cewe
yang merepotkan’, katanya. Menusuk sekali.
“
Haaalllaaahhh, dasar anak ingusan. Udah gede kok masih ngebahas trauma.”
Aku
tersenyum kaku mendengar ocehan Paman. Beliau bangkit dari duduknya dan mulai
membereskan meja makan. Sesaat aku hanya bisa terpaku di tempat dudukku. Amarah
Markus mengingatkanku pada kejadian setahun yang lalu.
Ah,
seharusnya aku tidak memikirkannya lagi. Bergegas aku bangkit berdiri dan
membantu Paman mencuci piring. Seorang pria menjadi pengurus rumah tangga
pastilah sangat sulit. Tapi Paman memang pria yang kuat. Buktinya sampai
sekarang beliau masih bertahan hidup sendirian. Cintanya memang hanya untuk
mendiang istrinya seorang.
***
Ini
hari kedua aku berlibur ke kota kelahiran Mama. Udaranya sejuk sekalipun
matahari bersinar terik. Banyak perubahan yang terjadi sejak setahun lalu aku
pernah berdiri di tempat yang sama. Kebun rumah Paman sudah tampak lebih
rimbun. Dengan dua pohon mangga yang ada di sudut kebun membuat suasana menjadi
rindang.
“
Lagi ngapain?” tanyaku pada Markus yang tiba-tiba muncul hanya dengan memakai
kaos singlet dan celana pendek sambil membawa gunting tanaman.
“
Mau benerin kebun mawar.” Nada suara Markus begitu dingin. Pasti dia masih
marah karena permintaanku kemarin. Padahal aku sudah tidak membahasnya sama
sekali tapi dia masih uring-uringan sendirian.
Aku
mendekati Markus yang mulai memotong batang-batang mawar yang mati. Ia tampak
serius sekali. Dahinya berkerut dan mulutnya
mengatup rapat. Sepertinya dia tidak mau bicara denganku. Apa dia
semarah itu padaku?
Rasanya
kesal juga melihat dia bertindak kekanakan seperti itu. Aku semakin
mendekatinya tapi langkahku tertahan saat aku menginjak selang untuk menyiram
tanaman. Sekilas ide iseng terlintas di kepalaku. Aku mengambil ujung selang
dan menekannya hingga air tidak keluar dengan leluasa.
Kudekati
kran air dan menyalakannya. Aku kembali ke dekat Markus dan hendak
mengejutkannya dengan semprotan air. Tapi sebelum aku mengagetkannya, tiba-tiba
ia berbalik dan melotot padaku. Dengan cepat tangannya menahan tanganku dan
mengarahkan selang itu ke wajahku.
SROOOOTTTTT!!!
Alhasil
aku basah kuyub. Aku terdiam dengan selang masih di tanganku. Di hadapanku
Markus malah tertawa terbahak-bahak sambil mengejekku habis-habisan. Aku senang
dia tertawa lagi tapi aku tidak terima kalau aku yang jadi bahan tertawaannya.
Dia harus kubalas!
Dengan
cepat kusemprotkan air ke arahnya. Ia berlari terbirit-birit tapi aku
mengejarnya. Untung selang itu cukup panjang jadi aku bisa menyusulnya ke
belakang rumah. Dia terus berlari dan aku mengejarnya. Saat ia berlari ke arah
depan rumah, aku berbalik dan menunggu di balik tembok. Dengan masih berlari ia
melewatiku dan aku tak melewatkan kesempatan itu.
“
Rasakan ini!!!” SROOOOOOTTTT!!!
Air
menyembur dengan kencang ke wajah Markus dan ia megap-megap karena sulit
bernapas. Aku terus menyemprotnya sampai akhirnya Markus berlari ke arahku dan
menarik selang itu dan menyemprotkannya kembali padaku. Ia menyemprotkannya
tepat diwajahku dan aku jadi kesulitan bernapas. Aku menghindari air tapi
Markus terus menyemprot. Kututup mataku dan dibalik kelopak mataku kulihat
Martin yang megap-megap berusaha bernapas. Tangannya menggapai-gapai udara
berusaha muncul ke permukaan air dan kemudian ia tidak muncul lagi. Aku terdiam
menunggu Martin muncul. Lama aku menunggu tapi dia tidak muncul-muncul juga.
Yang kulihat hanya buih ombak yang mengalir ke pantai. Dimana Martin? Dimana
dia? Melihat bayangan itu napasku sesak dan tanpa sadar aku menjerit.
“
Martiiiiinnnnn!!! Martiiiiinnnn!! Maaarrtiiiinnn!!!”
Aku
jatuh berlutut dan menangis tersedu-sedu. Kurasakan tubuhku bergoncang dan
namaku dipanggil. Kubuka mataku dan semakin sakit kurasakan saat kulihat wajah
Markus tampak pucat karena mencemaskanku. Aku menenggelamkan wajahku di balik telapak tanganku dan terus mengulang memanggil nama Martin.
Entah
kenapa setelah bertahun-tahun aku baru bisa menangis seperti ini. Padahal waktu
jenasah Martin ditemukan aku hanya bisa menatapnya terpaku dan berharap kalau
apa yang kulihat hanyalah bayanganku saja. Tapi saat kulihat bayangan ingatanku
saat itu…Aku merasakannya begitu nyata…Martiiinnn..Maafkan aku..
“
Sudah baikan?” Pertanyaan Markus membangunkanku dari lamunan. Aku melihat
sekelilingku. Aku ada di kamarku. Entah kapan Markus membawaku ke kamar. Aku
duduk terbungkuk di ranjangku dengan sisa isakan tangisku. Bajuku masih basah,
begitu pula Martin. Kulihat ada jejak tetes-tetesan air dan ingatanku kembali
ke masa itu. Tiga tahun lalu, saat Martin menyatakan perasaannya padaku. Aku
begitu senang tapi aku malah menggodanya.
“
Martiiin..huk..huk…” Aku menumpahkan tangisku lagi. Semakin jelas ingatanku
semakin keras tangisanku.
Waktu
itu aku mendengarkan kata-kata Markus agar aku menguji keseriusan cinta Martin.
Aku berpura-pura tenggelam dan Martin datang menolongku. Dia menerjang ombak
untuk menyelamatkanku. Saat itu aku hanya berpura-pura dan aku tertawa saat
melihat Martin berusaha muncul ke permukaan sampai akhirnya ia tenggelam.
Kupikir dia hanya bercanda. Aku pun berharap dia hanya bercanda…Tapi dia
serius. Aku mencari-carinya tapi aku tidak menemukan tubuhnya. Sampai keesokan
harinya tubuh Martin ditemukan sudah membiru….
Aku
membunuhnya!! Aku pembunuh!!!
“
Martiiiinnn…” Aku terus memanggil nama Martin sampai Markus merasa jengkel dan
akhirnya ia meninggalkanku. Aku tidak mempedulikan Markus yang meninggalkan
kamar. Saat ini dikepalaku terus terbayang kejadian itu. Berulang-ulang dan
terus berulang. Dan aku tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Aku tidak
bisa menghentikannya….Tidak bisa…
***
Laut
yang masih sama, pantai yang masih sama. Tidak ada yang berubah. Aku berjalan
semakin mendekat ke tepi pantai dan aku melihat ke arah dimana dulu aku telah
‘membunuh’ Martin.
“
Maaf…” bisikku lirih. Dadaku terasa seperti ditusuk-tusuk. Entah bagaimana
caranya supaya aku bisa memaafkan diriku sendiri. Martin, seandainya kau tahu
kalau aku tidak pernah bermaksud untuk membiarkanmu mati tenggelam. Seharusnya
aku percaya pada cintamu. Seharusnya aku tidak perlu mencobai perasaanmu.
Sekarang aku hanya bisa mengingatmu dengan perasaan sesak. Belum sempat aku
mengatakan bahwa aku memiliki perasaan yang sama denganmu…Aku belum sempat
mengatakan ‘iya’.
“
Bukan kau yang harus merasa menyesal. Akulah yang seharusnya menyesal dan
dihukum….Aku yang menyarankanmu untuk menggodanya…Akulah yang jahat.” Tiba-tiba
saja Markus sudah ada di sampingku. Ia menatap ke arah laut dengan tatapan mata
kosong. Lama kami terdiam sampai akhirnya Markus menarik napas dalam dan
tertunduk. Ia duduk di atas pasir dan menarik napas yang dalam berkali-kali.
Dan beberapa saat baru kusadari kalau ia menahan tangis.
“
Aku tahu kalau kau akan membalas perasaannya…makanya aku ingin sedikit
memberinya pelajaran…Tapi…Tapi aku tidak ingin membunuhnya!!! Sungguh!!
Huk..huk…Aku yang salah! Aku yang salah!” Aku terpaku melihat Markus yang
menangis hingga sesenggukkan. Aku duduk di sampingnya dan hanya bisa
memandangnya dengan tatapan mengerti. Kusandarkan kepalaku di bahunya. Bisa
kurasakan betapa menderitanya ia selama ini menyimpan rasa bersalah yang lebih
besar dariku. Pasti terasa menyiksa.
Harum
laut, pasir yang lembut, angin yang bertiup perlahan menenangkan perasaan kami.
Di depan kami matahari sore mulai turun dan memancarkan sinar jingga.
Samar-samar kudengar suara tawa dari kejauhan. Aku melihat ke arah datangnya
suara. Dua orang cowo dan seorang cewe sedang asyik bermain pasir dan air
pantai. Mereka tertawa riang sekali. Aku menarik napas dalam dan menoleh pada
Martin. Ia menatapku dengan penuh penyesalan. Aku tersenyum tapi aku juga
menangis. Kugenggam tangannya erat-erat dan dengan lembut ia membalas genggamanku.
“
Apa kau menyayangi Martin?” tanyaku sambil memandang laut yang tampak begitu
indah.
“
Aku menyayanginya. Aku sangat menyayanginya…Dan aku merindukannya.” Aku
mengangguk pelan menyetujui kata-kata Markus. “ Aku sangat berharap dia memaafkan kita..” Suaraku begitu
lirih dan terasa tidak meyakinkan tetapi Markus mengangguk menyetujui.
Aku menangis dan berjanji
dalam hatiku, aku tidak akan pernah mencobai perasaan orang-orang yang
mencintaiku. Tidak akan pernah kulakukan lagi. Karena aku tidak mau kehilangan
lagi. Tidak mau lagi.
Bintang
mulai bermunculan dan matahari semakin menyembunyikan dirinya. Aku dan Markus
masih bertahan duduk di pantai memandangi
3 orang yang masih asyik bermain air. Sampai akhirnya salah satu dari
mereka menghilang entah kemana dan dua orang yang lain tertawa senang tetapi
tiba-tiba mereka terdiam.
Markus
langsung bangkit berdiri dan berlari ke arah mereka. Ia berseru keras, seruan yang seharusnya ia lakukan dahulu. Jangan pernah sampai terulang lagi...
Martin,
kematianmu mendewasakan kami. Maafkan kami dan……terima kasih…..Kami
mencintaimu…
***
0 Comments