LIFE: Keputusan


BAB I
KEPUTUSAN

           Pria cebol itu terus memandang Leo dan cewe bawel di dekatnya dengan wajah seolah-olah ia tahu semuanya.
            “ Hei, kau tidak merasa risih dilihat pria tua ini? Jangan-jangan dia mau menculikmu juga.”
            “ Namaku bukan `hei`”
            “ Bawel banget sih. Ok, namaku Leo. Kamu?”
            “ Sharon. Panggil saja Shar.”
            Mereka saling berjabat tangan dan langsung melepaskannya dengan cepat seolah-olah jika terlalu lama mereka bersentuhan akan ada penyakit yang menular.
            “ Aku mau tanya sedikit. Kenapa kau jadi penipu?” tanya Shar dengan halus tanpa mempedulikan pria cebol yang ada di sebrang tempat duduk mereka.
            Leo menatap Shar penuh curiga. Ia memicingkan wajahnya dan menjauhkan posisi duduknya.
            “ Aku rasa itu bukan urusanmu. Kalau aku suka jadi penipu memangnya kenapa?”

            “ Aku `kan hanya ingin tahu. Aku juga orang yang sangat membutuhkan uang tapi tidak pernah berpikir untuk menjual harga diriku sendiri.”
Sekali lagi Leo memicingkan matanya tapi kali ini dia tidak bicara. Ia merasa cewe itu sedang menyindirnya.
Kalau soal menipu mungkin sebenarnya bukan masalah menjual harga diri tapi ini masalah balas dendam atau semacamnya. Suatu saat ia ingin melihat ibunya terkejut melihat apa yang dikerjakan anaknya selama ini.
“ Saudara Leonardo dan Sharone, Anda berdua boleh pulang. Kesaksian dari kalian sudah cukup. Tapi jika kami memanggil kalian, kami harap kalian bersedia datang lagi.”
Shar dan Leo mengangguk kompak. Leo baru ingin bergegas pulang tapi Shar menahan tangannya.
“ Pak, apakah kami boleh menjenguk 3 korban kecelakaan…”
Leo menatap Shar memprotes. Buat apa dia mendekati orang-orang itu lagi? Oh, mungkin dia mengharapkan imbalan! Boleh juga. Ia `kan juga ikut menolong jadi dia juga harus mendapat bagiannya.
“ Iya, Pak. Bisa tolong beritahu kami dimana tempatnya?” sambung Leo penuh semangat. Dikepalanya sudah terbayang jutaan rupiah uang yang akan ia terima.
“ Kebetulan sekali, Tuan Yulius ingin mengunjungi rumah sakit tempat korban di rawat. Kalian bisa ikut dengan beliau.”
Petugas polisi itu memandang pada pria cebol tadi dengan sangat hormat. Tuan Yulius tersenyum dengan sangat ramah pada Shar lalu pada Leo. Leo dan Shar cuma bisa saling pandang dan tersenyum kaku.
“ Kau yakin mau ikut dengannya?” bisik Leo pada  Shar dengan nada ngeri saat mereka sudah berada di dalam sedan BMW milik Tuan Yulius.
“ Memangnya kenapa? Kau jangan berpikiran yang macam-macam. Tampaknya ia orang yang tahu sopan santun dan bijak.”
Leo merengutkan keningnya. Ia tidak mengerti jalan pikiran cewe satu ini. Biasanya sekali diajak pria tidak dikenal yang kelihatannya mengancam, seorang cewe pasti tidak mau lagi diajak tapi cewe ini malah kelihatan menantang.
“ Perkenalkan nama saya Yulius Moses. Tampaknya kalian terjebak dalam suatu masalah. Apakah masalahnya sudah beres?”
“ Oh, saya Sharone dan ini Leo. Masalah kami sudah selesai kok Tuan Yulius.”
“ Panggil saja saya Yulius. Sepertinya kalian akrab sekali. Apakah kalian pacaran?”
“ Bukan!” seru Shar  dan Leo bersamaan. Mereka saling berpandangan dan mencibir seolah kalau apa yang diduga Yulius benar-benar terjadi itu merupakan suatu kutukan.
“ Hahaha…anak muda memang sangat unik. Aku punya banyak kenalan anak muda seumuran kalian. Mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Sebagian dari mereka bekerja di rumah sakit tempat teman kalian dirawat. Nanti akan kuperkenalkan.”
“ Dengar ‘kan? Dia punya kenalan orang-orang seumuran kita. Jangan-jangan dia germo.” Dengan ekspresi tetap tenang Leo mempengaruhi Shar. Ia ingin menakut-nakuti cewe itu tapi sepertinya tidak berpengaruh. Shar malah menjulurkan lidahnya dengan sepintas.
“ Kita sudah sampai.” Seru sopir Yulius sambil menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk rumah sakit. Bergegas ia membukakan pintu untuk Yulius dan Shar serta Leo.
“ Kalau kalian perbolehkan, aku pun ingin melihat keadaan teman kalian.”
Shar dan Leo saling pandang lagi dan mengangguk mengiyakan. Toh, tidak ada ruginya untuk mereka.
Mereka bertiga masuk ke rumah sakit itu dengan langkah yang mantap. Tanpa perlu bertanya pada bagian informasi mereka sudah mendapatkan nomor kamar para korban kecelakaan dari petugas polisi tadi.
Kamar yang pertama mereka masuki adalah kamar Fransiscus. Ternyata di sana orangtua Fransiscus sudah menemani.
Perlahan Yulius mengetuk pintu dan setelah mendengar suara yang mengijinkan masuk mereka masuk pelan-pelan.
“ Selamat pagi. Kami teman-teman Frans ingin menjenguk.” Jelas Yulius membuat orang tua Fransiscus terheran-heran melihat tubuh Yulius yang cebol. Mungkin mereka berpikir kalau tidak mungkin anak mereka berteman dengan orang seperti Yulius.
Orang tua Fransiscus semakin kaget saat melihat Shar dan Leo. Dua orang yang tampak dekil dan dipakaian mereka banyak bekas darah. Mereka tidak pulang jadi tidak sempat memersihkan diri.
“ Kalian teman Frans?” tanya ibu Frans agak ragu-ragu. Dengan bingung Shar ingin menjawab tapi Leo langsung menyerobot.
“ Sebenarnya kami yang mengeluarkan Frans dari mobil dan…”
“ Kenapa?! Kenapa…!?”
BRAK!
Leo dan Shar langsung melangkah mundur saat Frans dengan cepat turun dari tempat tidurnya dan mencoba menyerang Leo. Bergegas ayah Frans menahannya agar infus yang ada di tangannya jangan sampai terlepas.
Frans menatap Leo dengan penuh amarah. Ia tampak tidak terima dan kecewa.
“ Seharusnya kau biarkan aku di sana…Aku tidak mau hidup lagi….”
Frans terduduk di lantai sambil berlinang air mata. Kata-katanya tertelan oleh isakkan tangisnya. Ia memeluk kakinya sendiri dan membenamkan wajahnya di sana. Seperti anak kecil yang baru saja dimarahi oleh ibu.
Ayah dan ibu Frans hanya berdiri terpaku melihat anak satu-satunya bersikap seperti itu. Belum pernah mereka melihat Frans marah atau menangis seperti tadi.
“ Hwarrrrrrrrrrrrrrrrggg…!!!!”
Semua orang yang ada di dalam ruangan tidak dapat berbuat apa-apa saat Frans melepaskan infusnya dengan paksa. Ia menghampiri jendela dan membukanya, mencoba untuk melompat. Beruntung Yulius dengan gesit menahan kakinya dan menariknya menjauhi jendela. Ternyata biar pun ia cebol ia memiliki tenaga yang kuat.
“ Biarkan aku mati!!! Aku tidak ingin hidup lagi! Biarkan aku mati!”
Frans terus meronta-ronta seperti anak kecil. Ia baru tenang saat Yulius berbisik di telinganya. Entah apa yang dikatakan Yulius hingga membuat Frans jadi penurut.
Saat ayahnya menuntunnya untuk naik ke tempat tidur, dengan tenang ia menurut. Matanya tidak lepas dari Yulius, ada kepercayaan yang besar yang ditujukan Frans pada Yulius.
“ Kau akan menepati kata-katamu?” tanya Frans pada Yulius saat perawat memberinya obat penenang.
“ Aku orang yang selalu menepati janji.” Yulius berusaha meyakinkan. Setelah Frans tertidur mereka ijin pada orang tua Frans untuk pulang.
“ Dasar gila!! Sudah ditolong malah marah-marah. Sudah begitu kita ga dapat apa-apa lagi. Ucapan terima kasih saja tidak.” Gerutu Leo membuat Shar menatapnya dengan sebal.
“ Jadi itu sebabnya kau mau ikut menjenguk? Supaya dapat imbalan?”
“ Jaman sekarang mana ada yang gratis, Non! Kamu sendiri ngapain jenguk-jenguk segala? Ga mungkin `kan kalo cuma pengen tahu.”
Shar tidak menjawab. Ia juga bingung kenapa ia ingin sekali menjenguk orang-orang malang itu. Ia merasa harus melakukannya.
Shar memandang Yulius yang senyam-senyum sejak tadi. Mungkin ia mentertawakan dirinya dan Leo.
“ Apa yang tadi kau katakana padanya sampai ia bisa menjadi tenang?” tanya Shar penuh rasa ingin tahu. Leo pun mendekatkan dirinya supaya bisa mendengar jawaban Yulius.
“ Aku katakana padanya kalau aku akan mengijinkannya bunuh diri kalau ia sudah memenuhi tugas dariku.”
Shar tercenung mendengar jawaban Yulius. Ia menoleh pada Leo yang juga tampak bingung. Leo balas memandangnya dan mengangkat bahu.
“ Mungkin dia gila.” Bisik Leo sambil cengengesan. Shar melotot padanya, kesal. Cowo ini tidak bisa serius.
“ Hanya itu yang kau katakana padanya?” tanya Shar masih belum percaya. Yulius tersenyum lagi. Ia tidak menjawab apa-apa malah mengetuk pintu yang ada di depannya. Terdengar suara wanita dari dalam.
Yulius masuk dengan tanpa ragu-ragu tapi Shar dan Leo saling mendorong. Mereka takut kejadian di kamar Frans terulang lagi.
“ Kalian! Kenapa datang ke sini?!”
Nah, benar kan? Belum apa-apa ia sudah menyemprot Shar an Leo. Ternyata dia cewe yang mengancam Leo tadi.
“ Hei, aku juga ga mau menjenguk kamu! Tapi cewe dan orang ini yang ribut ingin menjenguk tahu!” seru Leo, tidak terima dengan perlakuan tidak sopan yang ia terima.
“ Mereka hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja.” Yulius menjelaskan dengan sangat tenang dan beribawa membuat cewe itu membungkam mulutnya.
“ Aku sudah mendengar tentang kakakmu. Bagaimana keadaannya?”
“ Aku tidak mengenal pria  cebol sepertimu. Aku tidak akan menjawab apapun yang kau tanyakan padaku.”
Cewe itu membuang muka dan menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sepertinya ia orang yang sangat keras kepala.
“ Hei, sopan sedikit kenapa sih? Masih untung ada yang mau menjenguk! Tidak tahu malu. Pantas saja tidak ada orang yang mau menjagamu. Mereka pasti tidak tahan padamu.”
PRANG!!
Leo terpaku di tempatnya. Di bawah kakinya ada pecahan gelas yang hampir saja menghantam wajahnya. Di depannya cewe itu memandangnya dengan ganas seperti singa mengamuk.
“ Kauu…” geram Leo setelah menyadari kalau baru saja cewe itu berniat membunuhnya. Atau setidaknya melukainya.
Shar menarik tangan Leo dan menahannya dengan kuat saat ia mencoba menyerang Catherine, nama cewe itu.
“ Kau sudah bosan hidup ya?!”bentak Leo, kasar.
Catherine sekali lagi mengambil benda berat yang berada paling dekat dengannya dan mencoba melemparkannya ke wajah Leo. Kali ini ia pasti serius.
“ Catherine, Julian sudah sadar. Perawat akan datang untuk memberitahukanmu.”
Sepertinya Yulius memang suka bercanda. Seharusnya ia tidak mengatakan kebohongan seperti itu pada Catherine yang sedang rapuh.
Tok!Tok!
Seorang perawat masuk dan memandang keadaan ruangan dengan bingung. Tapi kemudian dengan cepat ia memberitakan bahwa Julian sudah sadar.
Leo dan Shar langsung memandang Yulius tidak percaya. Dalam pikiran mereka menyimpulkan kalau Yulius adalah orang `pintar`.
“ Bawa aku! Bawa aku ke tempat kakakku! Aku mohon!”
Catherine turun dari tempat tidurnya dengan susah payah. Ia mencoba melepaskan infusnya tapi perawat melarangnya. Perawat itu membujuknya agar Catherine menunggunya mengambil kursi roda. Dengan gelisah Catherine menunggu dan saat perawat itu datang membawa kursi roda dengan terburu-buru ia turun dari tempat tidurnya dan duduk dikursi roda.
“ Cepat! Cepat! Aku harus bertemu kakakku! Aku harus bertemu dia!”
Perawat itu pun dengan gesit mengikuti keinginan Catherine. Di belakang Shar, Yulius dan Leo mengikuti. Mereka pun ingin melihat keadaan Julian.
Sampai di ruang ICU ternyata yang boleh masuk hanya Catherine. Mereka bertiga akhirnya menunggu di luar. Bagaimana pun mereka ingin Catherine menceritakan keadaan Julian.

***

Catherine masuk ke dalam ruangan tertutup yang berbau obat itu dengan dada berdebar. Matanya tertuju pada sosok yang terbaring di atas ranjang dengan wajah terbalut perban, ditubuhnya banyak selang dan kabel. Seolah tanpanya tubuh itu akan mati.
“ Julian…” panggil Catherine parau. Suaranya bergetar dan ketakutan.
“ Julian…ini aku..aku Catherine…Julian..”
Catherine mendekat perlahan dan mencoba menyentuh tubuh itu tapi ia juga merasa tidak mampu. Dadanya terasa tersayat dan jika ia menyentuhnya mungkin ia akan pecah berkeping-keping.
“ Kate…Ka..te..”
Dengan gemetar Catherine langsung menghampiri kakaknya. Tanpa ragu ia mennggenggam tangan Julian dan tepat saat itu juga hatinya meledak.
“ Maafkan aku…”
“ Bukan…Bukan salahmu…Dengar Papa…dia ada di sini. Dia sudah tahu tentang kehamilanmu…Minta maaflah padanya.”
Kate menggeleng marah. Ia tidak perlu meminta maaf pada pria itu. Ia tidak perlu mengatakan apapun pada pria itu.
“ Kate, jangan sampai Papa marah padamu…”
“ Bukankah memang selalu begitu? Ia selalu marah padaku. Yang bisa ia lakukan hanya marah dan marah. Tidak, aku tidak mau minta maaf padanya. Aku tidak mau. Seharusnya dia yang minta maaf padaku! Dia yang membuatku seperti ini! Ini semua salahnya!”
Julian mencoba membujuknya kembali tetapi ia malah kesakitan. Kepalanya terasa seperti dibenturkan ke tembok. Ia mengerang dengan keras seperti hewan terluka.
“ Julian..! Julian ada apa denganmu?!”
“ Sedang apa kau di sini?! Kau ingin membunuh anakku?! Jangan sentuh dia!”
Kate sangat terkejut saat tangannya ditarik dengan keras tepat ketika ia akan menyentuh wajah Julian. Papanya memandangnya penuh dendam dan amarah. Sekali lagi penolakan yang keras ia terima dari Papanya.
“ Kau…Kau memang pembawa sial! Pergi kau! Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi! Jauhi anakku dan urus sendiri anak dalam kandunganmu itu! Muak aku melihatmu! Keluar!”
Ia sudah sering menerima makian seperti tadi tapi kenapa kali ini terasa lebih sakit. Hatinya begitu terluka. Lukanya yang dulu seperti dikorek-korek lalu dilukai lagi.
Ada perasaan ingin mengemis kasih sayang pada papanya tapi harga dirinya melarangnya. Ia tidak perlu mengemis kasih sayang dari orang seperti ini. Jika orang ini ingin ia pergi dari hadapannya maka ia akan pergi.
“ Aku pun tidak ingin melihat wajahmu lagi. Aku akan membencimu seumur hidup!”
Kate meninggalkan ruangan itu tanpa mempedulikan teriakan kesakitan Julian yang memanggil namanya. Hatinya sudah terluka sangat dalam hingga mengeras sampai  teriakan Julian tidak dapat melunakkannya lagi.
“ Aku membencimu…Aku membencimu…Aku membencimu seumur hidupku…”
Kate terus menggumam tanpa menyadari keberadaan Shar, Leo dan Yulius yang menunggu dengan penasaran.
“ Kate, ini semua bukan salahmu. Yang terjadi hanya karena kesalahan masa lalu. Kau tidak salah, jangan takut pada dirimu sendiri.”
Kata-kata Yulius sekali lagi membuat Kate terdiam. Ia berbalik dan menatap Yulius penuh tanya namun ada harapan di sana.
“ Untuk apa aku hidup jika tidak ada seorang pun yang meinginginkanku? Aku cuma pembawa sial sejak kecil hingga sekarang. Jangan dekati aku kalau tidak kalian akan….”
“ Tidak ada seorang pun yang lahir dengan membawa kesialan ke dunia ini. Termasuk juga dirimu.”
“ Aku lelah dengan hidupku….”
“ Jangan pernah merasa lelah dan menyerah. Perjalananmu masih panjang dan ada seseorang yang ingin kau bekerja untuknya.”
Kate terdiam, Leo dan Shar saling pandang dan bertanya dalam hati.
“ Ia ingin memakai kalian.”
“ Kalian? Maksudmu?” Leo bertanya dengan ragu-ragu. Jangan-jangan ia dimasukkan dalam daftar.
“ Kau, Shar, Frans dan juga Kate. Jika kalian dapat melakukannya dengan baik, apapun yang kalian minta akan Boss penuhi.”
Tiga remaja itu menahan nafas mendengar tawaran Yulius yang terdengar menggoda sekaligus mencurigakan.
“ Apapun akan Boss kabulkan? Termasuk uang yang banyak?”
Yulius mengangguk mantap.
“ Apa Boss bisa membuat seseorang berlutut minta maaf?” tanya Kate dengan nada dingin dan tajam. Yulius menatapnya dengan tajam dan mengangguk sekali lagi.
“ Pekerjaan apa yang harus kami lakukan?” Shar bertanya sedikit takut. Bukannya tidak mungkin jika Boss meminta mereka melakukan tindak kriminal.
 “ Temui aku besok di taman rumah sakit ini dan akan kukatakan semuanya yang harus kalian lakukan.”
Setelah berkata seperti itu Yulius langsung meninggalkan mereka bertiga tenggelam dalam pikiran masing-masing, membayangkan pekerjaan apa yang akan mereka terima.

***

Matahari siang itu bersinar cerah. Angin yang dingin sisa dari hujan tadi pagi tidak terlalu terasa karena ada hangatnya matahari.
Leo melangkah mantap menuju taman rumah sakit, tempat dimana Yulius akan mengatakan tugas yang akan ia lakukan demi mendapatkan uang yang banyak. Leo tidak akan ragu lagi menerima pekerjaan dari siapa pun yang bisa memberikan uang yang banyak padanya, seperti apa pun pekerjaan itu akan ia lakukan. Yang terpenting adalah uang, uang dan uang.
BRAK!
“ Auch! Soriii!”
“ Kalo jalan liat-liat dong!”
“ Hah, ternyata kau! Kukira kau tidak tertarik dengan tawaran Yulius.”
Ternyata Shar, cewe itu memonyongkan bibirnya sambil memandang Leo penuh ejekan.
“ Kau sendiri ternyata sangat tertarik ya? Kalau aku `kan wajar. Aku memang butuh uang. Aku akan melakukan apa pun demi mendapatkan uang. Kalau kau…apa kau berani menjual harga dirimu demi mendapatkan uang? Apa kau masih mau terima pekerjaan ini kalau pekerjaannya ternyata bersifat kriminal?”
Shar menggigit bibirnya dan berpikir sebentar. Dan ia menggeleng mantap.
“ Sampai kapan pun aku tidak akan menjual harga diriku. Aku berbeda denganmu. Ok?”
Leo angkat bahu dan melangkah menuju ke taman. Di belakangnya Shar mengikuti sambil memandang sebal padanya.
Ternyata di taman sudah ada Frans dan Kate. Mereka sudah tampak lebih segar dan menarik. Ternyata Frans aslinya tampan dan keren.
“ Sepertinya kalian bertengkar lagi. Aku harap untuk tugas ini kalian bisa bekerja sama.”
Shar dan Leo tidak menjawab. Mereka hanya terus memperhatikan Frans dan Kate, mencoba membaca pikiran mereka. Mungkin mereka sudah diberitahu tentang tugas itu. Tapi dua orang itu terus bertampang dingin seperti mayat hidup.
“ Jadi, kita sudah berkumpul. Katakan apa yang harus kami lakukan untuk mendapatkan yang kami mau.” Suara Frans yang berat dan beribawa memecahkan kesunyian.
Serentak mereka menoleh pada Yulius menunggu penjelasan pria cebol itu. Yulius membalikkan badannya dan menatap pada keempat orang muda di depannya. Ia tahu kalau empat orang ini tidak akan menolak tugas yang akan ia berikan tapi ia ingin keempat orang ini merasa yakin dengan keputusan mereka.
“ Tugas yang sangat mudah. Tapi sebelum kalian mengetahui tugas kalian ini, aku ingin tahu kenapa kalian tertarik untuk menerima tugas ini.”
Mereka berempat saling pandang dan mencoba mencari jawaban yang tepat. Mereka pikir jawaban mereka akan menentukan penilaian Yulius pada mereka.
“ Jawaban kalian tidak akan mempengaruhi penilaianku ataupun tugas yang akan kuberikan. Aku hanya ingin tahu saja.”
Yulius memandang mereka satu persatu menunggu mereka bicara.
“ Aku ingin uang yang banyak. Hanya itu.” Leo mengungkapkan keinginannya dengan santai.
“ Uang…aku tidak butuh uang. Aku hanya ingin…mati atau hidupkan kembali Hanna.” Dengan tatapan kosong Frans memohon pada Yulius. Ia seperti menagih janji Yulius.
“ Hahaha..Ternyata yang kau kumpulkan adalah orang-orang yang aneh. Sayang, aku termasuk didalamnya. Dengar, aku cuma mau pria tua itu berlutut di depanku dan meminta ampun. Aku ingin melihat dia tersiksa dengan kehidupannya sekarang. Seperti ia membuat aku menderita. Kau bisa membuat ia seperti itu?”
Yulius tidak menjawab. Ia malah berpaling pada Shar yang tidak tahu harus menjawab apa.
“ A..aku hanya ingin minta uang untuk biaya operasi ibuku. Aku tidak minta yang lain.”
Kate dan Leo tertawa mendengar keinginan Shar, Frans hanya menatapnya penuh simpati sedangkan Yulius kembali hanya diam. Shar berdoa dalam hati semoga  jawabannya tidak salah.
“ Aku senang kalian semua menjawab dengan jujur. Sebenarnya tugas ini tidak terlalu sulit. Kalian ditugaskan untuk menolong pasien-pasien di rumah sakitku. Hibur mereka, buat mereka merasa nyaman dan bersahabatlah dengan mereka.”
Mereka berempat tercenung mendengar penjelasan Yulius.
“ Hanya itu?” tanya mereka serempak.
“ Memang kalian pikir aku harus memberi tugas seperti apa? Membunuh orang? Membobol bank? Aku bukan mafia, Teman.”
Shar, Leo, Frans dan Kate saling pandang. Mereka merasa kalau tugas itu tidak terlalu sulit dan rasanya memalukan jika ditolak.
“ Jadi, apakah ada yang mau menolak?”
“ Untuk berapa lama?” tanya Shar agak ragu. Ia ingin pekerjaan ini tapi ia juga ingin merawat ibunya.
“ Kalian akan tinggal di asrama yang telah kusediakan bagi orang-orang Bos. Kalian hanya boleh pulang jika tugas kalian sudah selesai. Shar, kau tidak usah takut. Bawalah ibumu ke rumah sakit terbaik untuk mengobati penyakit ibumu. Sebagai pembayarannya akan kuambil dari gajimu. Maka kau harus bekerja sampai pembayarannya lunas atau kukatakan cukup. Bagaimana?”
Shar menarik nafasnya dengan susah payah membayangkan kesembuhan ibunya. Ia menghampiri Yulius dan memeluknya erat.
“ Terima kasih. Terima kasih…Aku tidak tahu harus bagaimana tapi aku akan melakukan yang terbaik! Sungguh!”
Yulius membalas pelukan Shar sambil menepuk-nepuk bahu gadis itu layaknya seorang bapa yang menenangkan anaknya. Ia melirik pada yang lain, bertanya tentang keputusan mereka.
“ A..Aku akan mengambil tugas ini.” Frans memutuskan dengan mantap walau tergagap.
Tinggal Kate dan Leo. Mereka terus melihat pada Shar yang menangis bahagia. Mereka sedikit ragu tapi akhirnya mereka setuju.
“ Tidak ada ruginya. Lagi pula tidak terlihat sulit.”
Kate mengangguk menyetujui pendapat Leo.
Mereka berempat menatap Yulius lagi menunggu ia memberikan penjelasan lebih lanjut.
“ Kalian bicarakan semua ini pada orang tua kalian dulu. Pastikan mereka setuju dan aku akan menunggu kalian di rumah sakitku. Kalian akan dijemput oleh petugas rumah sakit.”
Yulius memberikan senyuman paling hangatnya dan menatap mereka satu persatu seolah memberikan peneguhan dan rasa aman pada 4 anak muda itu.
“ Selamat datang di dunia baru kalian. See you tomorrow!”
Pria cebol itu meninggalkan 4 remaja yang menggantungkan harapan padanya. Meskipun mereka tidak tahu apakah keputusan yang mereka ambil benar atau salah mereka tetap berharap dengan keputusan ini akan ada sesuatu yang berubah dalam hidup mereka. Setidaknya keinginan mereka terkabul.


***


Shar tersenyum lembut membalas senyuman ibunya padanya. Wajah ibunya mulai tampak segar.
“ Bagaimana? Apakah pekerjaan itu kau dapatkan?” tanya ibunya. Ia menepuk-nepuk bantal disampingnya meminta  Shar berbaring di dekatnya.
“ Iya, aku sudah mendapatkannya. Hanya saja aku harus tinggal di asrama dan kami tidak bisa pulang sampai tugas kami selesai. Mereka mengijinkan aku memasukan Ibu ke rumah sakit terdekat. Biaya rumah sakit akan diambil dari hasil kerjaku. Aku akan berhenti bekerja saat hutang itu sudah lunas semua atau mereka katakan kerjaku sudah cukup. Ini kesempatan yang baik agar penyakit Ibu bisa disembuhkan.”
Shar memeluk ibunya dengan hangat dan berharap beliau mau menyetujuinya.
“ Apakah orang yang memberikan pekerjaan itu benar-benar orang baik? Ibu takut terjadi apa-apa padamu.”
Shar menggeleng mantap dan menatap dalam-dalam mata ibunya, berusaha meyakinkan.
“ Tidak, Ibu. Ia orang yang sangat baik. Kami akan bekerja di rumah sakit miliknya. Aku yakin kalau pekerjaan ini bukan pekerjaan yang salah. Aku yakin sekali.”
“ Jika kau merasa yakin, baiklah. Ibu hanya ingin kau berhati-hati. Sekarang ini kan banyak penipuan berkedok menawarkan pekerjaan.”
“ Iya, Shar juga tahu. Hehe..aku kan anak Ibu yang bisa menjaga diri dengan baik.”
Ibu tertawa mendengar gurauan putri tunggalnya yang menjadi satu-satunya harapan ia untuk bisa bertahan.
“ Kemarin Ayah datang. Ia menanyakanmu. Ia sangat merindukanmu katanya.”
Shar bangkit dari tempat tidur mendengar ibunya menyebut ayahnya setelah sekian lama ia berusaha melupakannya. Ia memandang ibunya dan memohon dalam hati agar ibunya tidak menyebut nama orang yang paling ia benci itu.
“ Dia menitipkan hadiah yang ibu letakkan di lemari. Kau sendiri lupa kalau kemarin tanggal 12 Januari kan? Umurmu sekarang sudah 18 tahun. Kau sudah memasuki masa dewasa. Ibu sangat berharap kau punya teman yang bisa menjagamu dengan baik.”
Shar memicingkan matanya menangkap maksud ibunya. Teman yang bisa menjaga? Kenapa ibunya bicara seperti itu? Dia kan bisa menjaga dirinya sendiri.
“ Ibu, aku tidak butuh siapa pun untuk menjagaku. Yang kubutuhkan hanya Ibu.”
“ Suatu saat Ibu akan meninggalkanmu. Karena itu, Ibu ingin ada seseorang yang bisa menjagamu.”
“ Ibu tidak akan kemana-mana. Ibu jangan bicara yang macam-macam lagi. Kalau tidak aku akan pergi.”
“ Shar kau seperti anak kecil. Kapan kau akan dewasa?”
“ Aku tidak akan bisa dewasa kalau Ibu terus memikirkan hal yang tidak-tidak tentang diriku!”
Shar menggigit bibirnya begitu menyadari suaranya yang meninggi. Ia melirik ibunya berharap beliau tidak marah. Yah, memang tidak tapi ia tampak terkejut dan sedih.
“ Maafkan Ibu.”
Shar menundukan kepalanya dan menarik nafas dalam-dalam. Ia selalu saja bersikap begini. Membuat ibu merasa bersalah dan sedih padahal ia tidak bermaksud demikian.
“ Sudahlah, Bu. Ibu tidak salah kok. Hanya aku saja yang terlalu menganggapnya serius.”
Ibu tidak menjawab. Mereka terus terdiam dalam keheningan dan tidak beranjak dari tempatnya sama sekali.
Sampai terdengar bel pintu berbunyi, Shar segera keluar kamar untuk membuka pintu. Ia membuka pintu dengan cepat tapi juga dengan cepat ia menutupnya saat melihat orang yang menjadi tamu di rumahnya.
Orang itu menahan pintu dengan kuat agar Shar tidak menutup pintu.
“ Pergi kau dari sini! Kenapa kau datang lagi?! Jangan ganggu kami!”
Seru Shar pada tamu itu. Amarahnya yang sudah lama hilang muncul kembali karena melihat wajah tamu itu.
“ Shar, buka pintunya. Aku mau menemui Ibu. Kumohon!”
“ Mau apa kau menemui Ibu? Aku tidak akan membiarkan kau menemui Ibu! Kau pasti akan menyakitinya lagi.”
“ Tidak! Aku tidak akan menyakiti Ibu. Aku hanya ingin pamit. Kumohon, Shar. Mungkin ini terakhir kalinya aku bertemu kalian.”
Shar terdiam. Mungkinkah apa yang dikatakan oleh kakaknya benar. Tapi ia tidak mau tertipu.
“ Shar, aku mohon. Hanya sekali ini setelah itu aku akan pergi. Aku mau minta maaf pada Ibu. Shar…”
Melihat wajah Martin yang begitu memelas, Shar membuka pintu dengan ragu-ragu.
            “ Hanya sebentar ya? Aku tidak mau kau mengganggu Ibu. Dia sangat lemah.”
Martin mengangguk mantap. Ia langsung menuju kamar Ibu begitu Shar mengijinkannya masuk. Tak dipedulikannya seruan Shar yang memperingatkannya agar tidak berisik.
Perasaan Shar langsung khawatir begitu melihat kakaknya dengan cepat berlari ke kamar Ibunya. Ia takut ada kejadian yang tidak ia inginkan. Bergegas ia naik ke lantai dua untuk menyusul Martin.
Ternyata di kamar Ibunya, Martin memeluk wanita yang terbaring lemah itu dengan sangat erat dan sambil menangis tersedu-sedu.
“ Maafkan aku Bu. Selama ini aku sudah membuatmu khawatir.”
Shar ingin protes karena Martin telah membuat emosi Ibu tidak  terkendali tapi lidahnya tertahan mendengar tangisan Martin yang tersedu-sedu seperti anak kecil yang ditinggal ibunya.
“Martin, Ibu sangat merindukanmu…Kemana saja kamu? Apa kau tidak merindukan Ibu dan Shar?”
Ibu memandang Martin dengan penuh kerinduan. Air matanya tidak mau berhenti mengalir.
“ Aku…mengecewakan kalian. Sebenarnya aku takut untuk pulang tapi aku harus menemui kalian untuk yang terakhir kalinya. Aku….Ibu aku mohon maafkan aku…Aku..Aku tidak bisa lama-lama. Aku harus pergi.”
Martin melepaskan pelukannya dan mengecup kening Ibu dengan lembut. Lalu bergegas ia keluar dari kamar dan menemui Shar. Tanpa meminta ijin dahulu ia langsung memeluk Shar.
“ Maafkan aku…” ia langsung melepaskan pelukannya dan terburu-buru turun.
Shar bingung melihat kakaknya itu. Ia mengikutinya ke bawah. Martin sudah di pintu keluar sedang celingak-celinguk lalu dengan cepat ia keluar melewati pintu dan menghilang di telan malam.
“ Ada apa sebenarnya…?”
Shar melihat ke sekeliling rumah dan ia tidak menemukan jejak Martin sedikit pun. Ia menutup pintu, berdoa dalam hati agar Martin baik-baik saja. Ia merasakan kalau Martin sedang mengalami kesulitan dan dari gerak-geriknya menunjukkan kalau ia sedang dikejar-kejar.
“ Aku harap ia baik-baik saja…” gumam Shar saat menemui ibunya lagi. Beliau tampak semakin pucat dan diwajahnya tersirat kecemasan yang sangat besar.
“ Ibu masih merindukannya. Rasanya begitu sakit melihat ia tampak kumal. Ibu merasa kalau ia sedang bermasalah. Shar,apakah ia akan baik-baik saja?”
“ Iya,,,Ibu tenang saja. Yang penting saat ini Ibu sehat.”
Shar memeluk ibunya dengan hangat.
Seandainya ia memiliki lengan yang besar dan tenaga yang kuat, ia ingin menjaga ibu dan kakaknya agar terus merasa aman. Tapi ia manusia biasa yang lemah, yang bahkan tidak bisa menjaga diri sendiri. Ia memiliki banyak ketakutan, salah satunya kehilangan ibunya tersayang.

Semoga Tuhan masih berbaik hati memberi ibunya umur yang panjang. Masih banyak yang ingin ia lakukan bersama beliau. Kalau perlu, biarkan dirinya yang lebih dulu mati….

***
           

Genggaman tangan Julian begitu kuat di tangan Kate. Ia memandang Kate dengan mata berkaca-kaca, memohon Kate mengubah keputusannya.
“ Tidak ada yang bisa aku lakukan sekarang selain bekerja. Aku harus membiayai persalinanku sendiri dan membiayai kehidupanku bersama anak ini.”
“ Kau tidak perlu melakukan itu semua Kate. Kau punya aku…Biar aku yang…”
“ Tidak, tidak lagi Julian. Aku tidak bisa merepotkanmu lagi. Meskipun aku adikmu….aku sudah banyak membawa kesialan padamu.”
“ Kau tidak membawa sial. Kau adikku yang paling kusayang…Aku tidak akan membiarkanmu hidup menderita….Kate kumohon jangan pergi…”
Julian berusaha mendorong tubuhnya agar dapat duduk tapi Kate menahannya. Ia mendorong tubuh Julian agar berbaring kembali. Sambil terisak ia membetulkan bantal dan selimut Julian.
“ Julian….aku sangat bersyukur memiliki kakak sepertimu. Tapi kumohon mengertilah, aku harus mencari sesuatu yang penting untuk hidupku. Jika tidak kutemukan…aku tidak perlu hidup lagi….”
“ Kate…Apakah aku belum cukup untuk menjadi alasan untuk kau tetap hidup?”
“ Maaf, bagiku belum. Bagiku belum cukup…sampai…Papa mencium kakiku dan meminta maaf.”
“ Kate…”
Dengan cepat Kate mengusap air mata yang muncul di sudut matanya. Ia tidak ingin tampak cengeng. Sudah cukup baginya untuk menangisi orang yang tidak pernah mencintainya.
Ia tidak akan meneteskan air mata sampai kapan pun. Baik untuk dirinya sendiri atau pun orang lain.
“ Bagaimana dengan anakmu? Siapa yang akan jadi ayahnya?”
“ Ia tidak membutuhkan ayah. Kalau ia punya ayah justru akan memperburuk keadaannya. Aku akan mengurusnya sendiri.”
“ Kate, kau tidak tahu apa yang akan kau lakukan.”
“ Aku tahu, kakakku. Aku tahu dan aku sudah memutuskan akan melakukannya tanpa ada pengaruh dari siapapun.”
“ Kate…Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi padamu. Aku harap kau bahagia…”
“ Aku harap….”
Kate terus berada di ruangan Julian sampai ia tertidur. Saat Julian sudah terlelap, ia segera meninggalkan ruangan itu. Ia sudah ada janji dengan Frans untuk membantunya membereskan barang-barang Frans yang ada di ruang ia dirawat.
Kamar Frans tidak jauh dari kamar Julian. Jadi, Kate tidak perlu berjalan jauh.
Sampai di depan pintu kamar Frans, Kate hendak mengetuk. Tapi pintu kamar sedikit terbuka dan terlihat kalau orang tua Frans ada di sana sedang berdebat dengannya. Tampaknya orang tua Frans sangat marah dan kecewa.
“ Buat apa kau bekerja? Kau `kan sudah memiliki semuanya! Apa kau belum puas dengan semua yang telah Papi dan Mami berikan?”
Ayah Frans tampak sangat garang. Tubuhnya tinggi kekar, wajahnya tampak keras dan tegas, dari dandanannya terlihat kalau beliau sangat menjaga penampilan.
“ Papi, tolong mengerti. Frans bukan mengejar uang. Frans sudah katakana ini berulang-ulang `kan? Frans Cuma ingin mencari sesuatu.”
“ Sesuatu apa? Apa lagi yang ingin kau cari? Frans, kalau kau pergi kau akan mempermalukan Mami dan Papi! Lihat Mami sudah menangis seperti ini! Apa kau tidak kasihan pada Mami?!”
Frans tidak menjawab ocehan orang tuanya. Ia terus membereskan barang-barangnya. Saat semua barangnya telah beres baru ia menoleh pada orang tuanya dengan wajah memelas.
Sepertinya Frans memang bukan orang yang tegas.
Frans menghampiri ibunya dan memohon padanya.
“ Mami, seumur Frans sampai saat ini hanya permintaan ini satu-satunya yang pernah Frans katakana pada Mami. Selama ini Mami dan Papi selalu memberikan apa yang Frans inginkan sebelum Frans mengatakannya. Kali ini, dari hati Frans yang paling dalam, tolong ijinkan Frans pergi hanya sebentar saja. Frans tidak akan menghilang begitu saja. Setelah pekerjaan ini selesai Frans akan pulang.”
Tangis ibunya mulai mereda begitu mendengar kata-kata Frans yang tegas. Orang tuanya tampak takjub mendengar keinginan Frans yang sepertinya tidak dapat diganggu gugat.
“ Sampai kapan?” tanya ayahnya dengan lebih tenang.
“ Frans ga tahu. Tapi Frans pasti akan kirim surat dan menelepon lalu pulang. Papi dan Mami jangan cemas. I`ll be ok.”
Ayah dan ibu Frans saling pandang lalu menunduk. Ibunya segera memeluk Frans dan menangis dengan tersendu-sendu.
“ Papi doakan kau akan baik-baik saja. Papi hanya tidak ingin sampai kau celaka. Hanya kamu anak kami satu-satunya.”
Frans tersenyum hangat mendengar kata-kata ayahnya. Ia melepaskan pelukan dari ibunya dan memeluk ayahnya dengan erat.
Kate terpaku melihat pemandangan yang sangat ia inginkan. Hatinya terasa disayat dengan sangat pelan. Ia menelan ludah agar airmatanya tidak keluar.
Frans sangat beruntung memiliki orang tua yang sangat menyayanginya. Tidak seperti dirinya, hanya memiliki satu orang tua dan itu pun ia tidak menyayangi Kate.
Seandainya ia bisa berkompromi dengan Tuhan mungkin sekarang ia bisa lahir di keluarga yang hangat seperti keluarga Frans. Tapi ia Cuma orang kecil yang tidak berarti apa-apa dan tidak berharga. Bagaimana ia bisa berkompromi dengan Tuhan?

“ Keluargamu sangat baik.” Gumam Kate saat makan malam di kantin rumah sakit bersama Frans.
Frans tersenyum lemah dan kembali menikmati ayam gorengnya. Ia tidak berkomentar sama sekali.
“ Seharusnya kau bersyukur memiliki orang tua yang begitu baik. Kenapa kau mau meninggalkan mereka? Bahkan sampai ingin mati. Bukankah itu sangat bodoh?”
Kate mengunyah nasinya pelan, menunggu Frans menjawab pertanyaannya. Tapi ia tidak mendapatkan jawaban apa pun. Begitu mendengar pertanyaan Kate, Frans cuma menghentikan gerakannya sebentar. Sekilas ia tampak berpikir tapi kemudian ia kembali sibuk dengan makanannya. Tanpa komentar sedikit pun.
“ Seandainya bisa, aku mau bertukar tempat denganmu. Aku cuma punya ayah dan itu pun ia sangat membenciku. Ia sangat menyebalkan. Sering memakiku dan mengatakan kalau aku anak pembawa sial. Sekarang, karena kecelakaan kemarin ia tidak menganggapku anak lagi. Huh, sejak dulu pun aku tidak menganggapnya ayahku. Kau tahu? Untuk membalas sakit hatiku kubiarkan diriku hamil dan berhasil. Makanya ia mengusirku dari rumah.”
Frans mencuci tangannya sambil memandang Kate dengan dahi berkerut. Dan ia baru mau mengeluarkan suaranya setelah Kate bercerita.
“ Jika aku jadi kau, aku tak akan berani melakukan hal itu.”
“ Bagusnya kau bukan aku.”
“ Kau hebat memiliki keberanian seperti itu. Aku sepertinya tidak akan pernah bisa berani sepertimu.”
“ Kenapa? Bukankah seharusnya seorang cowo memiliki keberanian yang luar biasa?”
Frans terdiam. Wajahnya memerah mendengar kata-kata Kate. Sekalipun sebenarnya Kate tidak bermaksud menyindir.
Gadis itu tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan saat berada bersama orang tuanya. Saat ia mengatakan keinginannya untuk bekerja pada Yulius dan mereka mengijinkannya saja sudah membuatnya merasa sangat senang. Walaupun ia sedikit merasa sedih harus meninggalkan orang tuanya yang tidak pernah ia tinggalkan. Tapi tak apa. Mereka sudah biasa meninggalkan Frans sendirian untuk urusan bisnis jadi mereka pasti akan terbiasa.
“ Aku tidak memiliki keberanian seperti yang kau pikirkan karena itu aku sering merasa tidak suka pada diriku sendiri.”
Kate terdiam. Ia memandang Frans tanpa ekspresi.
Frans hanya bisa menarik napas dalam. Kalau dipikir-pikir memang selama ini ia merasa seperti semut. Ia selalu takut melakukan segala sesuatu sendirian karena ia sudah terbiasa dibantu oleh orang banyak. Bahkan untuk memutuskan keputusan yang menyangkut tentang dirinya sendiri ia selalu merasa tidak yakin..
Apakah ia pantas untuk disebut sebagai manusia? Sepertinya ia lebih pantas disebut sebagai robot.
Hanna sering memarahinya karena teman-teman Frans sering memanfaatkannya dan Frans tidak melawan. Frans kurang tegas. Ia sering disakiti dan merasa sedih tapi setiap kali temannya memanfaatkannya ia tidak pernah bisa mengelak. Akhirnya hanya Hanna yang membelanya dan mengatakan apa yang selalu Frans katakana pada semua orang.
“ Frans, aku tidak bermaksud menyindirmu loh. Lagipula kenapa kau harus merasa benci pada dirimu sendiri? Aku yang sering melakukan kesalahan saja tidak pernah merasa benci pada diri sendiri. Kenapa kau yang kelihatannya tidak jahat harus merasa benci pada diri sendiri?”
Frans melirik pada Kate dan tersenyum lemah.
“ Apa kau mengerti rasanya saat ingin melakukan sesuatu tapi tidak bisa karena memikirkan kalau orang lain akan membencimu. Atau saat kau tidak ingin melakukan sesuatu tapi kau melakukannya juga karena kau takut mengecewakan orang lain. Rasanya dirimu sendiri terkurung dalam kehidupan yang kau jalani. Jika seperti itu untuk apa kau hidup?”
Kate terdiam dan berpikir sejenak. Memang kalau dia ingin melakukan atau tidak melakukan sesuatu tidak pernah memikirkan orang lain. Baginya yang penting adalah apa yang ia inginkan tercapai.
Frans orang yang sangat berbeda dengan dirinya. Sepertinya ia sangat mempertimbangkan segala sesuatu hingga ia lupa memikirkan dirinya sendiri. Tapi kenapa dia harus mengeluhkan semua tindakannya itu. Bukankah itu yang ia inginkan? Tidak dibenci dan tidak mengecewakan orang lain?
“ Memang kau sudah mengatakan pada orang-orang itu perasaanmu yang sebenarnya? Kalau aku biasanya akan mengatakan `ya` jika memang aku ingin melakukannya dan sebaliknya. Walau akhirnya aku melanggar janjiku. Hehehehe….”
Kata-kata Kate menampar hati Frans dengan keras. Ia memang tidak pernah mengatakan pada orang lain tentang perasaannya. Ia tidak pernah ingin orang lain tahu tentang apa yang ia pikirkan. Rasanya akan lebih aman jika pikirannya menjadi miliknya dirinya sendiri. Makanya ia membiarkan orang lain mengendalikan hidupnya.
“ Hei, jangan diam begitu. Kau tidak marah `kan? Kau sudah memutuskan untuk ikut bekerja pada Yulius saja itu sudah menjadi kemajuan. Keinginanmu untuk mati mungkin akan terkabul. Aku pun berharap agar aku cepat mati kok. Ayo, bersemangat!”

***

“ Kakak kenapa mau bekerja? Kuliahnya gimana? Oskar `kan ga bisa bantu Mama sendirian.”
Leo tidak menjawab pertanyaan Oskar adik tertuanya yang berumur 13 tahun. Ia merasa bersalah meninggalkan mereka tapi pekerjaan ini mungkin akan membantunya mewujudkan keinginannya.
Leo memeluk 3 adiknya yang lebih kecil. Si kembar Bryan dan Bram yang berusia 10 tahun serta Kristian yang berusia 7 tahun. Mereka semua merengek agar Leo tidak pergi.
“ Maafkan kakak ya? Kakak terpaksa harus menerima pekerjaan ini agar kita tidak hidup susah lagi. Supaya Mama ga ngomel lagi. Tapi kakak janji akan pulang sambil bawa mainan. Kalian jagain Papa dna Mama ya?”
“ Leo, kapan kamu akan mengirimkan gaji pertamamu? Mama harap gajinya lebih banyak daripada penghasilanmu kemarin. Mama akan mengurus cuti kuliahmu.”
Leo langsung melepaskan pelukan dari adik-adiknya dan mulai membereskan barang-barangnya lagi. Tiba-tiba ia merasa begitu kesal dan gondok mendengar kata-kata ibunya. Ia merasa menjadi mesin pencetak uang.
“ Mama ga usah khawatir, uang gaji Leo bisa Mama makan sampai puas.” Ujar Leo dengan ketus sambil membawa tasnya keluar. Ia pergi ke kamar papanya dan menemui beliau yang sedang berbaring lemah tanpa bisa berbuat apa-apa selain mengedipkan mata, makan, minum dan buang air. Ia lumpuh total.
Leo mendekati papanya perlahan dan berlutut di dekat tempat tidurnya. Ia memandang pria tidak berdaya itu dengan perasaan sangat sakit. Ingin rasanya ia merubah sejarah agar pria yang selalu menjadi teladannya ini bisa bangkit berdiri, bermain basket bersamanya atau sekedar bermain catur bersama atau menonton pertandingan bola di tv. Tapi apa dayanya…
“ Papa, Leo pergi dulu. Papa banyak makan ya? Leo pasti pulang. Nanti Leo akan kirim uang yang banyak buat Papa supaya Papa bisa berobat. Papa doakan Leo ya?”
Leo memandang papanya dengan hangat dan penuh kerinduan. Beliau memang tidak membalas pandangan tersebut tapi air mata yang menetes sudah cukup untuk membuat Leo merasa terharu dan bahagia. Ternyata papanya masih merespon dan mendengarkannya.
“ Papa, Leo berangkat. Berikan doa dan restumu.”
Leo mendekat dan mengecup kening papanya. Ia memeluknya dengan hangat dan samara-samar ia merasakan kepalanya disentuh dengan sangat lembut.
Mata papanya tetap kosong tapi tangannya dengan susah payah terangkat untuk menyentuh kepala Leo. Leo terpukau dan tertawa dengan menitikkan air mata.
Untuk pertama kalinya ia merasakan bahwa Tuhan sangat baik padanya. Ia berdoa agar papanya bisa sembuh total. Ia memeluk pria tua itu sekali lagi dan mengecup kening dan pipinya berkali-kali.
“ Papa, Leo berangkat.”
Dengan berat hati Leo meninggalkan kamar Papa. Di luar Mama sudah menunggu dengan tidak sabar.
“ Leo, Mama ingin mengambil pembantu untuk bantuin Mama ngurusin Papa. Kira-kira gaji kamu cukup ga buat bayar pembantu?”
            “ Lihat saja nanti aku akan menghubungi Mama.”
“ Kamu jangan lupa ya? Mama tunggu kabar dari kamu. Kita ` kan butuh banyak biaya buat sekolah adik-adik dan pengobatan Papamu.”
“ Aku tahu. Mama ga usah banyak omong aku sudah tahu. Ya sudah, aku pergi dulu!”
Leo melambaikan tangan pada adik-adiknya tanpa mempedulikan lambaian tangan ibunya. Ia melangkah dengan berat namun dengan harapan besar. Suatu keberuntungan ia bisa mengenal Yulius. Dan semoga dia bukan seorang penipu.
Ia sebenarnya benci dirinya yang begitu menginginkan uang tapi memang hidup tidak dapat lepas dari uang. Ia sudah puas dengan penderitaan karena uang. Karena itu sudah cukup baginya berpura-pura baik. Sekarang yang penting baginya adalah uang karena dengan uang ia bisa melakukan apa saja. Ia akan memiliki kekuasaan dan mengendalikan orang banyak. Dan mungkin saja dengan uang ia bisa menyumpal mulut orang-orang yang materialistis seperti ibunya agar mereka tidak banyak bicara dan menuntut.
“ Kita lihat saja nanti. Apakah kita bisa melakukan tugas yang kita dapat dengan baik? Tidak akan ada yang menghalangi tujuan Leo! Si Singa Jantan paling berbahaya.”
Leo bicara pada dirinya sendiri dan itu cukup membuatnya lega. Semangatnya kembali bangkit dan ia siap menaklukan semua halangan yang ada. Apa pun yang ia inginkan harus ia dapatkan.

***

1 Comments