Cintaku Tidak Pernah Salah


Ami meremas tangannya dengan gelisah. Suara AC yang mendengung semakin membuatnya gelisah. Bahkan suhu yang dingin karena AC tetap tidak dapat meredakan panas tubuhnya yang tegang. Wanita muda yang masuk ke dalam ruang HRD baru masuk 3 menit yang lalu, tetapi bagi Ami rasanya seperti sudah berjam-jam.

Kriettt..Tiba-tiba pintu terbuka dan wanita muda itu keluar dengan senyum yang ramah. Ia berjalan melewati Ami begitu saja tanpa mengatakan satu patah kata pun. Ami terus memandangnya sampai ia hilang di balik pintu ruang tunggu. Dengan putus asa Ami menarik napas dalam dan menoleh ke arah pintu ruang HRD. Ami terpaku saat melihat seorang pria usia 40-an sudah berdiri di depan pintu sambil memandangnya dengan tidak percaya. Pria itu adalah Handoko.

Perlahan Ami bangkit dari duduknya dan tersenyum kaku memandang Handoko. Sosoknya sama seperti waktu dulu terakhir Ami melihatnya. Tidak ada perbedaan yang mencolok. Hanya kerutan di matanya yang menunjukkan bahwa ia semakin matang.

“ Se..selamat siang...A...Apa kabar?” Ami mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Handoko. Ia menunggu jabatan tangannya disambut tetapi Handoko malah hanya menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tanpa ekspresi. Ami mengepalkan tangannya yang tidak tersambut dengan gugup. Beberapa saat ia hanya bisa memandang ke lantai dengan mencari-cari. Entah apa yang ia cari. Ia merasa kalau ia telah melakuka kebodohan. Tidak seharusnya ia datang ke tempat ini dan menemui orang yang seharusnya ia kubur dalam ingatannya.

“ Mau apa ke sini?” tanya pria itu dengan tenang. Pandangan matanya mulai tenang dan tanpa ekspresi. Punggung Ami semakin menegang karena tidak tahu harus bicara apa lagi. Ia sendiri tidak tahu untuk apa ia menemui pria itu tetapi ia sangat ingin bertemu dengannya. Sangat ingin bertemu...

“ A..A...Aku....”

“ Lebih baik kamu pulang sekarang..” ujar pria itu sambil membalikkan badannya dan hendak kembali masuk ke dalam ruang HRD. Melihat kalau kesempatannya untuk bertemu pria itu akan lenyap, Ami segera mendekat dan menahan tangan Handoko.

“ Hari ini aku ulang tahun yang ke 17! Anda sudah berjanji pada saya untuk menemani saya jalan-jalan waktu saya berulang tahun ke 17!” Ami memandangnya dengan sangat memohon. Hanya ini kesempatannya untuk bisa bersama pria yang sangat ia cintai. Hanya ini kesempatannya...

Handoko terdiam dan memandang Ami dengan tidak percaya. Pasti dia menganggap Ami kekanak-kanakan tetapi Ami tidak peduli. Ia sangat menginginkan pria itu bisa ada di sisinya walau hanya sebentar. Meskipun memang sedikit memaksa.

“ Aku tidak punya waktu! Lepaskan tanganku!” Ia berusaha menghempaskan tangan Ami tetapi Ami terus menahannya dan memandangannya dengan tatapan memohon.

“ Tetapi Anda sudah janji pada saya!” tuntut Ami. Handoko mengatupkan rahangnya dan berpikir sejenak.

“ Tunggu di sini...” Ia melepaskan tangan Ami denga kasar dan segera masuk ke dalam ruangan. Ami berdiri di tempatnya dengan sangat gugup. Ia tidak bergeming sama sekali dari tempatnya. Ia takut Handoko tidak keluar lagi dari ruangan HRD. Ia takut pria itu bersembunyi dan tidak mau menemuinya...

Lama Ami menunggu hingga putus asa. Ia melihat jam tangannya dan sudah 15 menit berlalu. Dalam pikirannya suara-suara menjeritkan kalau pria itu tidak akan mau pergi dengannya, tidak akan pernah. Tetapi hati Ami tidak mau menyerah. Ia harus bersama dengan Handoko hari ini...Untuk mengetahui perasaannya....

“ Ayo.” Ami terlonjak karena tiba-tiba pria itu sudah berdiri di sebelahnya dan tampak sudah siap untuk pergi. Dengan senyum yang merekah Ami langsung mengangguk dan mengikuti pria itu ke arah area parkiran.

Mereka pergi dengan mobil pria itu ke Dunia Fantasi, tempat yang dulu telah dijanjikannya pada Ami. Sampai di Dufan Ami langsung mengajak Handoko bermain. Dengan enggan Handoko menuruti semua permintaan anak perempuan itu. Ia mau menurutinya semata-mata agar Ami tidak mengganggunya lagi.

Ami tampak begitu senang sekali karena bisa bermain dengan puas. Ia terus mendorong Handoko untuk bermain di wahana yang merangsang adrenalin dan dengan terpaksa Handoko menurutinya. Lima jam mereka puas bermain dan Ami tampak sangat senang.

Entah apa yang ia lakukan benar atau tidak, tapi Handoko mulai merindukan masa-masa saat bersama Ami. Saat-saat dimana ia tidak tahu kebenaran yang ada.

“ Kita main lagi yang lain ya?!” tawar Ami sambil menarik tangan Handoko dengan penuh semangat tetapi Handoko langsung menghempaskan tangannya. Ia memandang Ami dengan dingin.

“ Sudah jam 7 malam, sudah waktunya kamu pulang. Ayo aku antar pulang.” Handoko membalikkan badannya dan berjalan ke arah pintu keluar.

“ Aku mau ke pantai!” seru Ami memaksa. Handoko berbalik dan menggeleng dengan mantap. Tetapi Ami tetap besikeras.

“ A..Aku mau ke pantai!!!” Paksa Ami lagi dengan suara parau. Air mata mengalir deras di pipinya. Waktunya sudah tiba untuk ia berpisah dari Handoko....

“ Hanya sebentar!” tawar Handoko dengan kesal. Ami mengangguk dengan gemetar. Ia mengikuti Handoko untuk naik mobil dan mereka pun ke pantai.

Langit sudah gelap dan pemandangan laut tidak terlihat dengan jelas. Ami dan Handoko turun dari mobil sambil menikmati hembusan angin. Ami merogoh sakunya dan mengambil kotak kalungnya. Ia mendekati Handoko yang memandang ke arah laut sambil melamun.

“ Ini..” Ami menyodorkan kotak kalung itu pada Handoko. Pria itu tampak bingung dan memandang Ami dengan penuh tanya.

“ Aku ngga akan bisa pakai ini...Ngga akan pernah bisa...” bisik Ami tercekat. Ia memandang Handoko dengan nyeri yang sangat dalam di hatinya. Ia ingin menumpahkan semua kekesalan dan amarahnya yang ia simpan selama ini.

“ Aku...ngga pernah salah....Aku ngga pernah salah...Sekalipun aku memang bukan anakmu...Aku...Aku tetap mau Anda yang jadi papaku....Aku ngga pernah menipu Anda...Aku....” Dengan gemetar Ami mengusap air mata yang mengalir deras di pipinya. Handoko memandangnya dengan tatapan yang pahit.

“ Kau tetap bukan anakku...Mamamu telah menipuku. Kau bukan anakku...”

Kata-kata Handoko semakin mengorek luka di hati Ami. Rasa sakit yang sama saat Handoko berteriak padanya dan mengatakan kalau Ami bukan anaknya, ia rasakan lagi.

Waktu itu Ami baru pulang sekolah dan tiba-tiba Handoko keluar dari rumah dengan membawa koper travel. Ami mendekatinya untuk memeluknya seperti biasanya dan menanyakan dia akan pergi kemana, tetapi yang ia dapat malah penolakan dan seruan yang terus membayangi hidupnya. Ia memperingatkan Ami untuk tidak memanggilnya Papa lagi karena Ami bukan anaknya dan Ami harus melupakan dia.

Handoko meninggalkan Ami yang menangis meraung-raung. Ami terus memanggil Papanya dan mengejar taksi yang ia naiki, tetapi Ami hanyalah anak kecil. Saat ia terjatuh dan memandang taksi yang semakin jauh hati Ami semakin sakit dan bertanya-tanya. Kenapa Papa meninggalkan Ami? Apa salah Ami? Apakah Ami telah melakukan kesalahan yang membuat Papa pergi meninggalkannya? Apakah Papa akan pulang kalau Ami tidak nakal lagi?

Sejak itu Ami terus berusaha menjadi anak baik agar Papa pulang. Sampai akhirnya Ami menyadari kalau bukan salahnya kalau Papa pergi meninggalkannya. Mama memang telah membohongi Papa dengan mengatakan kalau anak yang dikandungnya yaitu Ami, adalah anaknya. Papa terluka dan tidak mau mengakui Ami. Ami mengerti dengan perasaan Papa, tetapi Ami tidak pernah membohongi Papa. Tidak pernah...

“ Aku memang bukan anakmu....Tapi Ami mau bilang semua yang selama ini Ami rasakan! Ami...Ami terus menunggu Papa pulang! Ami menggosok gigi sendiri, makan yang banyak, Ami juga sudah tidak ngompol lagi. Ami selalu mendapatkan ranking di kelas....Selesai bermain Ami selalu membereskan semuanya seperti yang selalu Papa suruh.....Tapi Papa ngga pernah pulang!! Ngga ada yang main basket sama Ami lagi! Ngga ada yang bacain dongeng buat Ami lagi! Mama terlalu sibuk sama kerjaan! Ami kesepian.....Kenapa Papa ninggalin Ami..Apa salah Ami!!! APA!!!”

Ami meraung keras dan memukul-mukul dada Handoko. Handoko terdiam memandang gadis itu dengan ngilu. Ia telah melukai gadis kecilnya...Ia ingin memeluknya tetapi luka yang ditoreh oleh ibu gadis itu membuatnya mengurungkan niatnya. Harga dirinya terluka terlalu dalam.

“ Ami cuma pengen bareng Papa...Cuma sama Papa...Huk..Huk...” Ami menenggelamkan wajahnya di dada Handoko dan menangis dengan bahu terguncang. Rasa pahit yang ia simpan selama bertahun-tahun meledak dalam beberapa menit. Handoko ingin memeluk gadis itu erat-erat agar bisa menyembuhkan lukanya tetapi akhirnya ia hanya bisa menepuk-nepuk pelan bahu Ami.

Ami mengangkat kepalanya dan memandang Handoko dengan tatapan pedih. Pipinya basah oleh air mata. Ami berbalik dan perlahan berjalan meninggalkan Handoko. Sesaat ia berbalik dan berbisik, “ Sampai kapan pun kamu adalah Papaku! Ngga ada yang lain!” dan ia berbalik meninggalkan Handoko.

Handoko terdiam memandang sosok Ami yang hilang di kegelapan malam. Ia ingin mengejarnya tetapi kakinya terasa terpaku. Yang bisa ia lakukan hanya memanggil nama gadis kecilnya di dalam hatinya...

Kotak kalung yang diberikan Ami tampak sudah sangat kusam. Perlahan Handoko membukanya dan melihat kalung pemberian Handoko di ulang tahun ke 7 Ami. Masih berkilau indah. Handoko pernah berpesan pada Ami untuk memakai kalung itu pada saat Ami menikah saja dan Ami harus menjaganya dengan baik. Kalung dengan liontin bintang yang sangat diinginkan Ami...Handoko mendapatkannya dengan susah payah. Ia lembur selama seminggu untuk mendapatkan uang tambahan membeli kalung itu....

Di kotak itu diselipkan surat. Handoko mengambilnya dan membacanya. Tulisan singkat...

Papa, terima kasih untuk kenangan yang manis...Sampai kapanpun Papa adalah Papaku...Maaf, Ami tidak akan bisa memakai kalung ini di hari pernikahan Ami...Ini hari terakhir kita...Ami sangat bersyukur bisa bersama Papa....Papa sayang Ami ‘kan? Ami sayang Papa... 

Ami 

Handoko melipat surat itu dan hanya bisa menutup matanya rapat-rapat....Jantungnya berdegup kencang dan menyesakkan dadanya. Ada amarah yang begitu besar di hatinya yang tertuju pada dirinya sendiri. Kenapa dia menyakiti gadis kecilnya! Kenapa....padahal ia sendiri sudah tahu...Kalau nyawa gadis itu ditentukan hari ini!

Kemarin ibunya menelepon dan mengatakan bahwa Ami akan melakukan operasi lambung untuk yang kesekian kalinya. Yang Handoko cemaskan resiko kematian operasi kali ini akan lebih besar dari operasi sebelumnya. Handoko takut kehilangan Ami tetapi hatinya masih terus mempertahankan harga dirinya.

Kenapa harga dirinya begitu tinggi?! Padahal saat ia meninggalkan gadis itu dan meneriakinya denga kasar hatinya sendiri begitu terluka! Saat ia tahu kalau gadis itu bukan putrinya ia begitu sakit dan dunianya terasa begitu runtuh....Ia tidak bisa makan dan tidak bisa tidur karena begitu khawatir Ami akan terus menangis. Ia takut gadis itu tidak bisa melakukan semuanya dengan baik...Anak nakal itu....

“ Ami...” Handoko menyebut nama gadis kecilnya dengan sesak napas. Ia ingin bersama putrinya lebih lama lagi. Ia tidak mau merasakan sakit setiap kali melihat ada gadis kecil di dekatnya...Ia tidak mau lagi dibayangi wajah Ami yang menangis terluka! Ia tidak mau peduli lagi dengan kebenaran bahwa Ami bukanlah purinya!Walaupun....Walaupun pikirannya mengatakan Ami bukanlah putrinya...Gadis itu tetap putrinya...Sampai kapan pun!! Karena cintanya tidak salah...Cintanya pada putrinya bukanlah suatu kesalahan!

“ Ami...Tunggu Papa, Nak!”

***

4 Comments