Sesuai janji saya di sini, Aki memberikan izin untuk saya post kesaksian dia untuk kelas BPN. So, ini dia kesaksiannya.
Saya dulunya termasuk salah satu orang yang cukup skeptis dengan Bimbingan Pra-Nikah. Padahal, saya sudah berjemaat di Abbalove kurang lebih 15 tahun tetapi karena termakan perkataan orang lain bahwa di BPN ada ini-itu, harus begini-begitu, belum lagi jangka waktu bimbingan yang cukup lama (minimal 9 bulan – buat saya lama sekali) malas rasanya untuk mengikuti semua”syarat” ini. Yah, memang saat itu saya memiliki paradigma yang salah. Paradigma saya ini diubahkan oleh karena kesaksian sebagian besar teman-teman saya yang sudah menikah dan mengikuti BPN, bahwa saya dan pasangan saya, Lasma, WAJIB dan KUDU MESTI ikut! Wah, memang ada sedikit unsur pemaksaan. Namun, pada akhirnya saya dan Lasma pun menuruti saran dari teman-teman, itu pun setelah 2 tahun menjalani hubungan khusus.
Awal mula mengikuti kelas besar, saya ingat sekali motivasi saya masih belum berubah sepenuhnya tentang BPN ini. Paradigma saya waktu itu adalah “Saya mau ikut BPN supaya bisa diberkati di Abbalove”, prosedur saja. Kelas pertama kali yang saya ikuti ini lah yang mengubahkan paradigma saya. Sebuah statement yang sangat powerfull, yaitu “Pernikahan adalah sebuah Perjanjian antara Allah, Saya dan Pasangan kita”. Kata’perjanjian’ini yang membuat saya berpikir kalau Tuhan tidak bermain-main dengan ikatan pernikahan. Saya bertobat dan minta ampun pada Tuhan. Ternyata selama ini saya menganggap pernikahan itu hanya sekedar suatu jenjang kehidupan yang harus dilewati dan ikuti emua syarat yang ada. Saya berdoa, meminta Tuhan berbuat sesuatu untuk pernikahan saya nantinya dan tidak lupa untuk selalu menyertakan Tuhan dalam hubungan pra-nikah ini.
Baca juga KESAKSIAN MENGIKUTI KELAS BPN
Untuk Saya dan Lasma, ketika menjalani masa pra-nikah ini sebenarnya jarang sekali ada konflik. Tapi memang, tetap saja kami mempunyai perbedaan-perbedaan yang penyesuaiannya butuh waktu. Melalui BPN ini, setiap perbedaan bisa ditelusuri dan mencari solusi. Salah satu yang cukup sering kami alami adalah perbedaan temperamen dan cara berkomunikasi. Lasma orang yang stabil, sabar dan cenderung cermat, sedangkan saya orangnya meledak-ledak, mudah terpancing emosinya tetapi kurang detail. Suatu kali, saya janjian untuk menjemput dia tapi tidak jelas lokasinya sedangkan setiap saya coba untuk telepon, tidak ada yang mengangkat. Saya pun hanya menduga-duga tempatnya dimana, tapi bukan itu saja, ternyata saya harus menunggu selama kurang-lebih 1 jam. Alhasil, sepanjang kita berdua kembali ke rumah saya merasa kesal sekali dan diam saja. Pada kelas tentang Karakter/Temperamen pasangan, pernah salah seorang pembicara pernah menantang para pasangan untuk berlomba meminta maaf terlebih dahulu. Tetapi untuk saya, rasanya sulit sekali untuk melakukan hal tersebut, bahkan kalau bisa ingin sekali mengeluarkan uneg-uneg dari hati yang terdalam. Sesampainya saya di depan kos Lasma, dia kemudian meminta maaf kepada saya terlebih dahulu.
Tuhan mengingatkan bahwa kami berdua memang diciptakan berbeda, tetapi perbedaan tersebut adalah alat Tuhan untuk saling memperlengkapi satu sama lain. Kami membereskan masalah itu dan berkomitmen untuk berfokus pada penyelesaian konflik, bukan pada konflik itu sendiri. Dan akhirnya, sampai saat ini pun saya belajar untuk menyesuaikan diri dengan Lasma, mencoba untuk mengendalikan emosi dan berkomunikasi lebih detil.
Dalam hitungan bulan kami akan melangsungkan pernikahan dan kami sangat diberkati dengan adanya Bimbingan Pra-Nikah, serta Pembina Pra-Nikah, Kak Stephan yang begitu peduli dengan kami berdua. Secara pribadi, saya melihat pernikahan itu ternyata bukan sekedar “wahana” dari Tuhan tapi itu adalah “Kehidupan” yang harus dipelihara, dirawat dan semakin berkembang menjadi lebih indah.
Tetap Maju Terus! Tuhan Yesus Memberkati.
1 Comments